Assalamu'alaikum...
Ada kabar gembira,,,, bagi sobat-sobat semua yang ingin memesan buku bahasa arab seperti kitab tasawuf, fiqih, hadits, tafsir, filsafat, qonun, kedokteran, geografi, sejarah dll, silahkan pesan sekarang, tinggal buka saja link ini: Toko Buku Online - Buku Bahasa Arab Terlengkap..!!!

Kamis, 22 Maret 2012

Penyakit Parkinson

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis progresif, yang berhubungan dengan proses penuaan sel-sel Substansia Nigra Pars Compacta (SNc). Penyakit ini merupakan penyakit terbanyak kedua setelah demensia Alzheimer. Penyakit ini memiliki dimensi gejala yang sangat luas sehingga baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup penderita maupun keluarga.(Sudoyo W, dkk, 2006)
Pada tahun 1817, dalam tulisannya yang berupa buku kecil “An essay on the shaking palsy”, James Parkinson untuk pertama kalinya mendeskripsikan gejala-gejala klinik dari suatu sindrom, yang pada nantinya sindrom tersebut dinamakan sesuai dengan namanya sendiri. Pada saat itu dia berhasil mengidentifikasi 6 (enam) kasus, dimana 3 diantara kasus tersebut diperiksa sendiri olehnya, dan 3 lainnya hanya melalui observasi di kota London. James Parkinson sendiri menggunakan istilah “Paralysis Agitans”, yang oleh Charcot pada abad ke 19 menjulukinya sebagai “maladie de Parkinson” atau “Parkinson’s Disease”. Charcot juga berhasil mengenali bentuk non-tremor dari Parkinson’s Disease dan secara benar mengemukakan bahwa kelambanan gerakan harus dibedakan dari kelemahan atau pengurangan kekuatan otot. (Azwar A, dkk, 2011)
Lebih dari 100 tahun kemudian setelah deskripsi yang dikemukakan oleh Parkinson yaitu pada tahun 1919, diketahui bahwa pasien dengan penyakit parkinson kehilangan sel-sel di substansia nigra. Pada tahun 1957, dopamin diketemukan sebagai “putative neurotransmitter” oleh Carlsson dan koleganya di Lund, Swedia. Pada tahun 1960 didapatkan penemuan oleh Ehringer dan Hornykiewicz yang menyatakan bahwa konsentrasi dopamin menurun secara tajam di striatum pasien dengan penyakit Parkinson. Hal tersebut merintiskan jalan pada dilakukannya percobaan pertama penggunaan levodopa pada pasien dengan penyakit Parkinson. Penggunaan levodopa tersebut kemudian mengantarkan Carlsson mendapatkan “Nobel Prize in Medicine” pada tahun 2000.(Azwar A, dkk, 2011)
Hingga saat ini diagnosis dari penyakit parkinson didasarkan pada kriteria klinik, karena belum adanya tes definitif dalam menegakkan diagnosis penyakit parkinson. Resting tremor, bradikinesia, rigidity, dan postural instability secara umum merupakan tanda-tanda pokok dari penyakit parkinson dan merupakan suatu disfungsi motorik.(Azwar A, dkk, 2011)
Tanda-tanda motorik tersebut merupakan akibat dari degenerasi neuron dopaminergik pada system nigrostriatal. Hilangya sel neuron berpigmen terutama pada substansia nigra dan adanya α-Synuclein yang positif pada sitoplasma (Lewy Body) adalah gambaran utama penyakit Parkinson. Namun, derajat keparahan defisit motorik tersebut beragam. Tanda-tanda motorik pasien sering disertai depresi, disfungsi kognitif, gangguan tidur, dan disfungsi autonom.Tanda-tanda spesifik tersebut diatas merupakan hal yang dapat membedakan penyakit parkinson dengan parkinsonian disorder (Parkinsonism). (Azwar A, dkk, 2011)
Prevelensi Penyakit parkinson ini di Amerika Serikat berkisar 1% dari jumlah penduduk, dan meningkat dari 0,6% pada usia 60-64 tahun menjadi 3,5% pada umur 85-89 tahun. Penyakit ini dapat mengenai semua usia, tetapi lebih sering pada usia lanjut. (Sudoyo W, dkk, 2006)
Penyebab PP sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, tetapi beberapa penelitian yang dilakukan terhadap anak kembar monozigot menunjukan bahwa terdapat faktor genetik yang mendasari penyakit ini. Faktor lain yang juga menjadi penyebab proses degenerasi ini  antara lain dapat disebabkan juga oleh, proses penuaan otak, stress oksidatif, terpaparnya pestisida/herbisida antijamur yang cukup lama, infeksi, kafein, alkohol, trauma kepala, depresi dan merokok. (Sudoyo W, dkk, 2006)
 
1.2 Tujuan Penulisan
Melakukan penulisan ilmiah dasar atau referat, tentang “Penyakit Parkinson” mulai dari definisi, etiologi, klasifikasi, faktor resiko, gejala, tanda, penegakan diagnosa, hingga penatalaksana dan pencegahan mutahir penyakit tersebut. yang nantinya dapat berguna sebagai sumber informasi dasar baik untuk penulis maupun pembaca dalam upaya dini menurunkan angka kejadian dan kematian yang berkaitan dengan kasus “Penyakit Parkinson”.
 
1.3 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari referat yang berjudul “Penyakit Parkinson” ini adalah agar penulis dan pembaca dapat:
  1. Mengetahui informasi dasar yang dapat menambah wawasan serta ilmu pengetahuan mengenai karakteristik ‘Gejala Gangguan Lain pada Sistem Persarafan’ yang sering terjadi pada pasien-pasien usia tua (lansia) yaitu tentang kasus “Penyakit Parkinson”.
  2. Bisa lebih memahami bahwa penyakit parkinson ini merupakan masalah serius yang cukup sering ditemui pada kebanyakan pasien-pasien geriatri (lansia), yang dapat menjadikan modal awal dalam upaya ikut menurunkan angka kejadian dan kematian yang berkaitan dengan kasus tersebut
  3. Bagi penulis dapat menjadi bahan dokumentasi materi kasus, penambah referensi dan bahan bacaan “Penyakit Parkinson”..
BAB II
PENYAKIT PARKINSON

2.1    Definisi
Penyakit Parkinson
Menurut beberapa sumber definisi dari penyakit parkinson (PP) adalah:
1.    Penyakit Parkinson atau paralisis agitans merupakan bagian dari parkinsonisme idiopatik yang secara patologis ditandai dengan degenerasi ganglia basalis terutama di substansia nigra pars kompakta (SNc) yang disertai dengan adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (lewy bodies). Dengan gejala karakteristik yg ditandai tremor, kekakuan otot dan sendi (rigidity), kelambanan gerak dan bicara (bradikinesia), dan instabilitas posisi tegak (postural instability). Disebut juga Parkinsonisme idiopatik atau primer. (Sudoyo W, dkk, 2006; Boedhi-Darmojo,dkk, 1999)
2.    Penyakit parkinson merupakan suatu penyakit idiopatik yang biasanya terjadi pada usia lanjut sekalipun bentuk juvenilis pernah dikemukakan, bersifat kronis- progresif, ditandai dengan wajah mirip topeng, tremor yang khas pada otot yang relaksasi, perlambatan gerakan volunter, festinating gait, sikap tubuh yang aneh, dan kelemahan otot, kadang-kadang dengan pengeluaran peluh yang berlebihan dan rasa panas. Secara patologi terjadi degenerasi dalan nukleus sistem ekstrapiramidal dan hilangnya sel-sel yang mengandung melanin dari substansia nigra, serta penurunan kadar dopamin yang sesuai dengan corpus striatum. disebut juga shaking palsy. (Dorlan, 2002)
3.    Penyakit Parkinson adalah tipe tersering dari suatu keadaan parkinsonism, lebih kurang 80% dari seluruh kasus. Selain itu penyakit parkinson juga merupakan penyakit neurodegenerative tersering kedua setelah demensia Alzheimer. (Sudoyo W, dkk, 2006)
Parkinsonism
Dari beberapa sumber parkinsonism, dapat didefenisikan sebagai berikut:
1.    Sindrom yang ditandai dengan adanya tremor waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia dan hilangnya reflex postural akibat penurunan kadar dopamine oleh berbagai macam sebab. Disebut juga dengan sindrom Parkinson. (Sudoyo W, dkk, 2006)
2.    Parkinsonisme adalah suatu sindrom yang ditandai dengan tremor ritmis, bradikinesia, kekauan otot, dan hilangnya refleks tubuh. Gangguan gerakan terutama terjadi akibat defek pada jalur dopaminergik (penghasil dopamin) yang menghubungkan subtansia nigra dengan korpus striatum (nukleus kaudatus dan letikularis). Ganglia basalis merupakan bagian dari sisitem ekstrapiramidal yang mempengaruhi awal, modulasi, akhir pergerakan dan mengatur gerakan automatis. (Sylvia A. Prince, dkk, 2006)
3.    Parkinsonisme adalah gangguan yang paling sering melibatkan sistem ekstrapiramidal, dan beberapa penyebab lain. sangat banyak kasus besar yang tidak diketahui sebabnya atau bersifat idiopatik. parkinsonisme idiopatik mengarah pada penyakit parkinson atau agitasi paralisis. (Sylvia A. Prince, dkk, 2006)
4.    Parkinsonisme adalah suatu sindrom klinis berupa rigiditas (kekuatan), bradikinasia, tremor, dan instabilitas postur. (Williams F. Ganong, dkk, 2007)

2.2    Epidemiologi
Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia. Prevelensi penyakit parkinson di Eropa dan Amerika mencapai sekitar 2000 dari 100.000 penduduk berusia diatas 70 tahun, tetapi hanya 8 per 100.000 penduduk di bawah 50 tahun. Kedua jenis kelamin terkena dengan perbandingan yang hampir sama. Pada umumnya Penyakit parkinson lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio 3:2, di mana suatu kepustakaan menyebutkan prevalensi tertinggi penyakit parkinson terjadi pada ras Kaukasian di Amerika Utara dan ras Eropa (0,98 % hingga 1,94%); menengah terdapat pada ras Asia (0,018 %) dan prevalensi terendah terdapat pada ras kulit hitam di Afrika (0,01 %). (Boedhi-Darmojo,dkk, 1999)
Angka prevalensi parkinson di Indonesia belum dapat diketahui secara pasti. Akan tetapi mengingat umur harapan hidup makin lama dan makin tinggi yaitu dari tahun 1990-2025, maka Indonesia akan mengalami kenaikan jumlah penduduk usia lanjut sebesar 41,4%. Maka dapat diperkirakan sekitar tahun 2015 – 2020 angka harapan hidup orang Indonesia selama hidupnya mencapai 70 tahun lebih. Akibatnya prevalensi penyakit yang ditemukan pada golongan usia lanjut mengalami kenaikan. (Depkes, 2000)

2.3    Klasifikasi
Sindroma parkinson (parkinsonisme) dapat di klasifikasikan sebagai berikut: (Sudoyo W, dkk, 2006)
1.    Primer atau idiopatik atau paralysis agitans
-    Penyebab tidak diketahui
-    Sebagian besar merupakan penyakit parkinson
-    Ada peran toksik yang berasal dari lingkungan
-    Ada peran  faktor genetik, bersifat sporadis
-    Contoh: Penyakit Parkinson & Juvenile Parkinsonism
2.    Sekunder atau akuisita
-    Timbul setelah terpajan suatu penyakit/zat
-    Infeksi dan pasca infeksi otak (ensefalitis)
-    Terpapar kronis oleh toksin seperti 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydropyridine (mptp), mn (mangan), co (karbon monoksida), sianida, dan lain-lain.
-    Efek samping obat penghambat reseptor dopamin (sebagian besar obat anti psikotik) dan obat yang menurunkan cadangan dopamin (reserpin).
-    Pasca stroke (vaskuler)
-    Lain-lain: hipotiroid, hipertiroid, tumor/trauma otak, hidrosefalus bertekanan normal
3.    Sindroma parkinson plus
Gejala parkinson timbul bersama gejala neurologi lain seperti: Progressive Supraneural Palsy, Multiple System Atrophy, Cortical-Basal Ganglionic Degeneration, Parkinson-Dementia-ALS Compleks of Gunam, Progressive Palidal Atrophy, Diffuse Lewy Body Disease (DBLD)
4.    Kelainan Degeneratif diturunkan (heredodegenerative disorder)
Gejala parkinsonism menyertai penyakit-penyakit yang diduga berhubungan dengan penyakit neurologi lain yang faktor keturunan memegang peranan peran sebagai etiologi, seperti: Penyakit Alzheimer, Penyakit Wilson, Penyakit Hantinton, Demensia frontotemporal pada kromosom 17q21, X-linked distonia parkinsonism (di Filipina disebut Lubag)
Parkinsonisme dapat digolongkan atas dua kategori yaitu, parkinsonisme primer dan parkinsonisme sekunder (berhubungan dengan infeksi, obat, toksin, penyakit vascular, trauma dan tumor otak). (Fauci, dkk, 2008)

Tabel 2.1 Parkinsonisme Primer dan Parkinsonisme Sekunder
Parkinsonisme Primer                Parkinsonisme Sekunder
Penyakit Parkinson idiopatik                              -Iatrogenik: fenothiazin thioxantin, benzamide, lithium, sodium valproat,
    Ca blocker, reserpin, tetrabenazin.
Demensia lewy body                                                 - Toksik : MPTP =1 methyl, 4 phenyl, 1,2,3,6 tetra-hydropiridin), CO,mangan, sianida, organofosfat
Parkinsonisme karena penyakit genetic                 -  Infeksi : encephalitis lethargia, AIDS,syphilis
Frontotemporal demensia dengan parkinsonisme     - Metabolik : hipoparatiroid, penyakit Wilson
                                                                                  - Struktural : normal pressure  hydrocephalus, trauma SSP, tumor, infark
Alzeimer’s
MSA (multy system athrophy)
PSP (progressive supranuclearmpalsy)
CBD (corticobasal degeneration)
Neurocantosis
Huntington
Degenerasi spinocerebellar
 (Fauci, dkk, 2008)

2.4    Etiologi
Penyakit parkinson terjadi jika sel saraf (autonom) yang mengatur gerakan mengalami jejas atau mati. Dalam keadaan normal, neuron ini menghasilkan dopamin, suatu neurotransmiter saraf yang diperlukan untuk mengatur gerakan otot. Kekurangan zat tersebut akan menimbulkan gangguan dalam gerakan seperti halnya yang terjadi pada penyakit parkinson. (Azwar A, dkk, 2011)

2.5    Faktor Resiko
Sampai saat ini penyebab dan faktor resiko kematian sel-sel SNc belum diketahui dengan pasti. Beberapa penelitian pada penderita penyakit parkinson baik penelitian berdasarkan autopsi pasien yang sudah meninggal dan penelitian epidemiologis, maupun penelitian pada hewan primata yang dibuat menderita penyakit parkinson, menghasilkan beberapa dugaan penyebab penyakit parkinson seperti tersebut dibawah ini: (Sudoyo W, dkk, 2006)
1.    Faktor genetik
Ditemukan 3 gen yang menjadi penyebab gangguan degenerasi protein dan mengakibatkan protein beracun tak dapat didegenerasi di ubiquitin proteasomal pathway.
Kegagalan degenerasi ini menyebabkan peningkatan apoptosis di sel-sel SNc sehingga meningkatkan sel neuron di SNc. Inilah yang mendasari  terjadinya PP sporadik yang bersifat familial. Pada penelitian didapatkan kadar subunit alfa dari proteasome  20S menurun secara bermakna pada sel neuron SNc penderita PP, dibandingkan dengan orang normal, demikian juga didapatkan penurunan sekitar 40% 3 komponen (chymotriptic, trytic dan postacidic) dari proteasome 26S pada sel neuron SNc penderita PP.
Peranan faktor genetik juga ditamukan dari hasil penelitian terhadap kembar monozigot (MZ) dan dizigot (DZ), dimana angka intrapair concordance pada MZ jauh lebih tinggi dibandingkan DZ.
predisposisi genetik
+
faktor lingkungan (endokrin dan endogen)
+
berkurangnya jumlah neuron yang berhubungan dengan usia dan oleh karena hilangnya oksidan
penyakit parkinson

Bagan 2.1 Etiologi dari Parkinsons Disease ( Jankovic 1992)

2.    Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan sebagai penyebab terjadinya PP sudah diteliti sejak 40 tahun yang lalu, sebagian setuju bahan-bahan beracun seperti carbon disulfide, manganese, dan pelarut hidrokarbon yang menyebabkan parkinsonism, demikian juga pasca ensefalopalitis. Pada penelitian selanjutnya ternyata parkinsonism demikian juga pasca ensefalitis. Pada penelitian selanjutnya ternyata parkinsonism yang terjadi bukan PP. Saat ini yang paling diterima sebagai etiologi PP. Saat ini yang paling diterima sebagai etiologi PP adalah proses stres oksidatif yang terjadi di ganglia  basalis, apapun penyebabnya. Berbagai penelitian telah dilakukan antara lain peranan xenobiotik (MPTP), pestisida/herbisida, terpapar pekerjaan terutama zat kimia seperti bahan-bahan cat dan logam, kafein, alkohol, diet tinggi protein, merokok, trauma kepala, depresi dan stres, semuanya menunjukkan  peranan masing-masing melalui jalan yang berbeda dapat menyebabkan PP maupun parkinsonisme baik pada penelitian epidemiologis maupun eksperimental pada primata.
3.    Umur (proses menua)
tidak semua orang tua akan menderita PP, tetapi dugaan adanya peranan proses menua terhadap terjadinya PP didasarkan pada penelitian epidemiologis tentang kejadian PP (evidence based). ditemukan angka kejadian PP pada usia 50 tahun di Amerika Serikat 10-12 per 100.000 penduduk, peningkatan menjadi 200-250 per 100.000 penduduk pada usia 80 tahun. pada penderita PP terdapat suatu tanda reaksi mikroglial pada neuron yang rusak dan tanda ini tidak terdapat padaproses menua yang normal, sehingga disimpulkan bahwa proses menua merupakan faktor resiko yang mempermudah terjadinya prosesdegenerasi di SNc tetapi memerlukan penyebab lain (biasanya multifaktorial) untuk terjadinya PP.
4.    Ras
Angka kejadian PP lebih tinggi pada orang kulit putih dibandingkan kulit hitam.
5.    Cedera kranioserebral
Prosesnya belum jelas. Trauma kepala, infeksi dan tumor di otak lebih berhubungan dengan parkinsonisme daripada PP.
6.    Stres Emosional
Diduga merupakan salah satu faktor resiko terjadinya PP.
Jika timbulnya gejala murni tidak didahului trauma atau stroke, maka dapat dikatakan merupakan penyakit parkinson atau primer parkinsonisme. Tetapi jika diawali dengan trauma, dikatakan parkinsonisme. Trauma kepala juga berhubungan dengan penyakit Parkinson pada usia muda. Resiko menderita Penyakit Parkinson rendah pada orang diet tinggi antioksidan, peminum caffeine, dan perokok.

2.6    Patofisiologi
Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta substansia nigra sebesar 40 – 50% yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies). Lesi primer pada penyakit Parkinson adalah degenerasi sel saraf yang mengandung neuromelanin di dalam batang otak, khususnya di substansia nigra pars kompakta, yang menjadi terlihat pucat dengan mata telanjang. Dalam kondisi normal (fisiologik), pelepasan dopamin dari ujung saraf nigrostriatum akan merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2 (inhibitorik) yang berada di dendrit output neuron striatum. Output striatum disalurkan ke globus palidus segmen interna atau substansia nigra pars retikularis lewat 2 jalur yaitu jalur direk reseptor D1 dan jalur indirek berkaitan dengan reseptor D2 . Maka bila masukan direk dan indirek seimbang, maka tidak ada kelainan gerakan. (Robert Silitonga, 2007)
Pada penderita penyakit parkinson, terjadi degenerasi kerusakan substansia nigra pars kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum sehingga tidak ada rangsangan terhadap reseptor D1 maupun D2. Gejala Penyakit Parkinson belum muncul sampai lebih dari 50% sel saraf dopaminergik rusak dan dopamin berkurang 80%. Reseptor D1 yang eksitatorik tidak terangsang sehingga jalur direk dengan neurotransmiter GABA (inhibitorik) tidak teraktifasi. Reseptor D2 yang inhibitorik tidak terangsang, sehingga jalur indirek dari putamen ke globus palidus segmen eksterna yang GABAergik tidak ada yang menghambat sehingga fungsi inhibitorik terhadap globus palidus segmen eksterna berlebihan. Fungsi inhibisi dari saraf GABAergik dari globus palidus segmen ekstena ke nucleus subtalamikus melemah dan kegiatan neuron nukleus subtalamikus meningkat akibat inhibisi. (Robert Silitonga, 2007)
Terjadi peningkatan output nukleus subtalamikus ke globus palidus segmen interna/substansia nigra pars retikularis melalui saraf glutaminergik yang eksitatorik akibatnya terjadi peningkatan kegiatan neuron globus palidus/substansia nigra. Keadaan ini diperhebat oleh lemahnya fungsi inhibitorik dari jalur langsung, sehingga output ganglia basalis menjadi berlebihan kearah talamus. (Robert Silitonga, 2007)
Saraf eferen dari globus palidus segmen interna ke talamus adalah GABAnergik sehingga kegiatan talamus akan tertekan dan selanjutnya rangsangan dari talamus ke korteks lewat saraf glutamatergik akan menurun dan output korteks motorik ke neuron motorik medulla spinalis melemah terjadi hipokinesia. (Robert Silitonga, 2007)
 
Bagan 2.2 Skema Teori Ketidakseimbangan Jalur Langsung dan Tidak Langsung
Keterangan Singkatan
D2 : Reseptor dopamin 2 bersifat inhibitorik
D1 : Reseptor dopamin 1 bersifat eksitatorik
SNc : Substansia nigra pars compacta
SNr : Substansia nigra pars retikulata
GPe : Globus palidus pars eksterna
GPi : Globus palidus pars interna
STN : Subthalamic nucleus
VL : Ventrolateral thalamus = talamus
Gambar 2.3 Patofisiologi Parkinsonisme
Patogenesis
Hipotensis terbaru proses patologi yang mendasari proses degenerasi neuron SNc adalah Stres oksidatif. Stress oksidatif akan membahayakan integritas neuron sehingga mempercepat degenerasi neuron. Sumber peningkatan stres oksidatif ini masih belum jelas namun mungkin saja melibatkan disfungsi mitokondria, peningkatan metabolisme dopamin yang menghasilkan hidrogen peroksida dan reactive oxygen species (ROS) lain dalam jumlah besar, peningkatan besi reaktif, dan gangguan jalur pertahanan antioksidan. Stres oksidatif menyebabkan terbentuknya formasi oksiradikal, seperti dopamin quinon yang dapat bereaksi dengan alfa sinuklein (protofibrils). formasi ini menumpuk, tidak dapat di degredasi oleh ubiquitin-proteasomal pathway, sehingga menyebabkan kematian sel-sel SNc. mekanisme patogenik lain yang perlu dipertimbangkan antara lain: (Sudoyo W, dkk, 2006)
•    Efek lain dari stres oksidatif adalah terjadinya reaksi antara oksiradikal dengan nitric-oxide (NO) yang menghasilkan peroxynitric radical.
•    Kerusakan mitokondria sebagai akibat penurunan produksi adenosin  trifosfat (ATP) dan akumulasi elektron-elektron yang memperburuk stres oksidatif, akhirnya menghasilkan peningkatan apoptosis dan kematian sel.
•    Perubahan akibat proses inflasi di sel nigra, memproduksi sitokin yang memicu apoptosis sel-sel SNc

2.7    Gejala klinis
Gambaran klinis penyakit parkinson dapat dilihat pada gambar dan keterangan dibawah ini:


Gambar 2.1 Gejala Penyakit Parkinson

Gejala prodormal
•    Awitan tersembunyi dan non spesifik, umur 50-70 tahun
•    Degenerasi neuron 1 dekade sebelum gejala utama muncul
•    Lelah, letih, pegal-pegal atau kram otot, distonia fokal, gangguan ketrampilan, kegelisahan, gejala sensorik (parestesia) dan gejala psikiatrik (gangguan kepribadian, ansietas atau depresi) sebelum muncul gejala motorik
•    Motorik: kelemahan umum, kekakuan pada otot gangguan kordinasi ringan
•    Gejala parkinsonism ringan seperti tremor intermiten pada satu atau beberapa jari dan rigiditas asimetris → curigai gejala Parkinson.
Trias Parkinson :
1.    Tremor
2.    Rigiditas
3.    Bradikinesia
Gejala umum
•    Gejala mulai pada satu sisi (hemiparkinsonism)
•    Tremor saat istirahat
•    Tidak didapatkan gejala neurologis lain
•    Tidak dijumpai kelainan laboratorik dan radiologis
•    Perkembangan lambat
•    Respon terhadap levodopa cepat dan dramatis
•    Gangguan refleks postural tidak dijumpai pada awal penyakit
Gejala khusus:
1.    Gejala Motorik Pada penyakit Parkinson (TRAP)
•    Tremor: 1. Laten; 2. Saat istirahat; 3. Bertahan saat istirahat; 4. Saat gerak disamping adanya tremor saat istirahat; 5. Meningkat saat emosi; 6. Multi bidang; 7. Sifat kasar (4-6 kali/3-7 detik); 8. Mulai dari tangan;
•    Rigiditas
•    Akinesia/Bradikinesia: 1. Kedipan mata berkurang; 2. Wajah seperti topeng; 3. Hipofonia (suara kecil); 4. Air liur menetes; 5. Akatisia/Takikinesia (gerakan cepat tidak terkontrol); 6. Mikrografia (tulisan semakin kecil); 7. Cara berjalan: langkah-langkah kecil; 8. Kegelisahan motorik (sulit duduk atau berdiri)
•    Hilangnya refleks postural. Didiagnosis dapat ditegakkan berdasarkan sejumlah kriteria: 1. Klinis; 2. Menurut Koller; 3. Menurut Gelb
2.    Gejala non motorik pada penyakit parkinson
•    Inkontinensia
•    Demensia
•    Depresi
•    Dysphagia
•    Gangguan tidur
•    Konstipasi
•    Berkeringat
•    dll
Keterangan:
1.    Tremor
Tremor terdapat pada jari tangan, tremor kasar pada sendi metakarpofalangis, kadang-kadang tremor seperti menghitung uang logam atau memulung-mulung (pil rolling). Pada sendi tangan fleksi-ekstensi atau pronasi-supinasi pada kaki fleksi-ekstensi, kepala fleksi-ekstensi atau menggeleng, mulut membuka menutup, lidah terjulur-tertarik. Tremor ini menghilang waktu istirahat dan menghebat waktu emosi terangsang (resting/ alternating tremor). (Sudoyo W, dkk, 2006)
Tremor tidak hanya terjadi pada tangan atau kaki, tetapi bisa juga terjadi pada kelopak mata dan bola mata, bibir, lidah dan jari tangan (seperti orang menghitung uang). Semua itu terjadi pada saat istirahat/tanpa sadar. Bahkan, kepala penderita bisa bergoyang-goyang jika tidak sedang melakukan aktivitas (tanpa sadar). Artinya, jika disadari, tremor tersebut bisa berhenti. Pada awalnya tremor hanya terjadi pada satu sisi, namun semakin berat penyakit, tremor bisa terjadi pada kedua belah sisi. (Sudoyo W, dkk, 2006)
Tremor terjadi pada saat istirahat dengan frekuensi 4-5 Hz dan menghilang pada saat tidur. Tremor disebabkan oleh hambatan pada aktivitas gamma motoneuron. Inhibisi ini mengakibatkan hilangnya sensitivitas sirkuit gamma yang mengakibatkan menurunnya kontrol dari gerakan motorik halus. Berkurangnya kontrol ini akan menimbulkan gerakan involunter yang dipicu dari tingkat lain pada susunan saraf pusat. (Sudoyo W, dkk, 2006)
Tremor pada penyakit Parkinson mungkin dicetuskan ritmik dari alfa motor neuron dibawah pengaruh impuls yang berasal dari nukleus ventro-lateral talamus. Pada keadaan normal, aktivitas ini ditekan oleh aksi dari sirkuit gamma motoneuron, dan akan timbul tremor bila sirkuit ini dihambat.
2.    Rigiditas
Rigiditas disebabkan oleh peningkatan tonus pada otot antagonis dan otot protagonis dan terdapat pada kegagalan inhibisi aktivitas motoneuron otot protagonis dan otot antagonis sewaktu gerakan. Meningkatnya aktivitas alfa motoneuron pada otot protagonis dan otot antagonis menghasilkan rigiditas yang terdapat pada seluruh luas gerakan dari ekstremitas yang terlibat. (Sudoyo W, dkk, 2006)
Gejala kekakuan (rigiditas) tersebut adalah jika kepalan tangan yang tremor tersebut digerakkan (oleh orang lain) secara perlahan ke atas bertumpu pada pergelangan tangan, terasa ada tahanan seperti melewati suatu roda yang bergigi sehingga gerakannya menjadi terpatah-patah/putus-putus. Selain di tangan maupun di kaki, kekakuan itu bisa juga terjadi di leher. Akibat kekakuan itu, gerakannya menjadi tidak halus lagi seperti break-dance. Gerakan yang kaku membuat penderita akan berjalan dengan postur yang membungkuk. Untuk mempertahankan pusat gravitasinya agar tidak jatuh, langkahnya menjadi cepat tetapi pendek-pendek. (Sudoyo W, dkk, 2006)
3.    Bradikinesia/Akinesia
Gerakan penderita menjadi serba lambat. Dalam pekerjaan sehari-hari pun bisa terlihat pada tulisan/tanda tangan yang semakin mengecil, sulit mengenakan baju, langkah menjadi pendek dan diseret. Kesadaran masih tetap baik sehingga penderita bisa menjadi tertekan (stres) karena penyakit itu. Wajah menjadi tanpa ekspresi. Kedipan dan lirikan mata berkurang, suara menjadi kecil, refleks menelan berkurang, sehingga sering keluar air liur. Gerakan volunterpun menjadi lambat sehingga berkurangnya gerak asosiatif, misalnya sulit untuk bangun dari kursi, sulit memulai berjalan, lambat mengambil suatu obyek, bila berbicara gerak lidah dan bibir menjadi lambat. Bradikinesia mengakibatkan berkurangnya ekspresi muka serta mimik dan gerakan spontan yang berkurang, misalnya wajah seperti topeng, kedipan mata berkurang, berkurangnya gerak menelan ludah sehingga ludah suka keluar dari mulut. (Sudoyo W, dkk, 2006)
Bradikinesia merupakan hasil akhir dari gangguan integrasi dari impuls optik sensorik, labirin , propioseptik dan impuls sensorik lainnya di ganglia basalis. Hal ini mengakibatkan perubahan pada aktivitas refleks yang mempengaruhi alfa dan gamma motoneuron. (Sudoyo W, dkk, 2006)


4.    Hilangnya refleks postural
Meskipun sebagian peneliti memasukan sebagai gejala utama, namun pada awal stadium penyakit parkinson gejala ini belum ada. Hanya 37%penderita  penyakit Parkinson yang sudah berlangsung selama 5 tahun mengalami gejala ini. Keadaan ini disebabkan kegagalan integrasi dari saraf propioseptif dan labirin dan sebagian kecil impuls dari mata, pada level talamus dan ganglia basalis yang akan mengganggu kewaspadaan posisi tubuh. Keadaan ini mengakibatkan penderita mudah jatuh. (Sudoyo W, dkk, 2006)
5.    Wajah Parkinson
Seperti telah diutarakan, bradikinesia mengakibatkan kurangnya ekspresi muka serta mimik. Muka menjadi seperti topeng, kedipan mata berkurang, disamping itu kulit muka seperti berminyak dan ludah sering keluar dari mulut. (Sudoyo W, dkk, 2006)
6.    Mikrografia
Bila tangan yang dominan yang terlibat, maka tulisan secara graduasi menjadi kecil dan rapat. Pada beberapa kasus hal ini merupakan gejala dini.
7.    Sikap Parkinson
Bradikinesia menyebabkan langkah menjadi kecil menggeser dan makin menjadi cepat (marche a petit pas), yang khas pada penyakit Parkinson. Pada stadium yang lebih lanjut sikap penderita dalamposisi kepala difleksikan ke dada, bahu membongkok ke depan, punggung melengkung kedepan, dan lengan tidak melenggang bila berjalan. (Sudoyo W, dkk, 2006)
8.    Bicara monoton
Rigiditas dan bradikinesia otot pernafasan, pita suara, otot faring, lidah dan bibir mengakibatkan berbicara atau pengucapan kata-kata yang monoton dengan volume yang kecil dan khas pada penyakit Parkinson. Pada beberapa kasus suara mengurang sampai berbentuk suara bisikan yang lamban.
9.    Disfungsi otonom
Disfungsi otonom mungkin disebabkan oleh menghilangnya secara progresif neuron di ganglia simpatetik, Sehingga dapat mengakibatkan:
•    Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama inkontinensia dan hipotensi ortostatik.
•    Kulit berminyak dan infeksi kulit seborrheic
•    Pengeluaran urin yang banyak
•    Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan melemahnya hasrat seksual, perilaku, orgasme.
10.    Gerakan bola mata
Mata kurang berkedip, melirik kearah atas terganggu, konvergensi menjadi sulit, gerak bola mata menjadi terganggu.
11.    Refleks glabela
Dilakukan dengan jalan mengetok di daerah glabela (diatas pangkal hidungnya) berulang-ulang. Pasien dengan Parkinson tidak dapat mencegah mata berkedip pada tiap ketokan. Disebut juga sebagai tanda Mayerson’s sign
12.    Demensia
Demensia relatif sering dijumpai pada penyakit Parkinson. Penderita banyak yang menunjukan perubahan status mental selama perjalanan penyakitnya. Disfungsi visuospatial merupakan defisit kognitif yang sering dilaporkan. Degenerasi jalur dopaminergik termasuk nigrostriatal, mesokortikal dan mesolimbik berpengaruh terhadap gangguan intelektual.
13.    Depresi
Sekitar 40 % penderita terdapat gejala depresi. Hal ini dapat terjadi disebabkan kondisi fisik penderita yang mengakibatkan keadaan yang menyedihkan seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan harga diri dan merasa dikucilkan. Tetapi hal ini dapat terjadi juga walaupun penderita tidak merasa tertekan oleh keadaan fisiknya. Hal ini disebabkan keadaan depresi yang sifatnya endogen. Secara anatomi keadaan ini dapat dijelaskan bahwa pada penderita Parkinson terjadi degenerasi neuron dopaminergik dan juga terjadi degenerasi neuron norepineprin yang letaknya tepat dibawah substansia nigra dan degenerasi neuron asetilkolin yang letaknya diatas substansia nigra. (Sudoyo W, dkk, 2006)
14.    Ganguan kognitif, menanggapi rangsangan lambat
15.    Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur (insomnia)
16.    Gangguan sensasi,
•    Kepekaan kontras visuil lemah, pemikiran mengenai ruang, pembedaan warna,
•    Penderita sering mengalami pingsan, umumnya disebabkan oleh hypotension orthostatic, suatu kegagalan sistemsaraf otonom untuk melakukan penyesuaian tekanan darah sebagai jawaban atas perubahan posisi badan
•    Berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra perasa bau (microsmia atau anosmia),

2.8    Penegakan diagnosa
Diagnosis penyakit parkinson dibuat terutama berdasarkan gambaran klinis, disamping adanya pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan, MRI, PET, SPECT dan respon pengobatan terhadap levodopa (L-dopa) atas indikasi untuk menyingkirkan diagnosis dengan penderita parkinsonism yang didasarkan atas adanya suatu gejala. (Sudoyo W, dkk, 2006)

Tabel 2.2 Temuan Neurologi Utama pada Penyakit Parkinson
Temuan Neurologis    Keterangan
Tremor saat istirahat    Gerakan memilin pada jari tangan yang khas; tremor berkurang dengan gerakan volunter dan selama tidur
Bradikinesia    Perlahan-lahan dalam memulai dan mempertahankan gerakan
Rigiditas roda pedati    Gerakan dihalangi dengan menangkap; resistensi relatif konstan sepanjang rentang gerakan
Kelainan posisi tubuh dan cara berjalan    Membungkuk, berjalan dengan kaki diseret, cara berjalan yang cepat, tidak mampu untuk berbalik dengan cepat, berbalik badan dengan cara bersamaan (en bloc)
Mikrografia    Tulisan tangan yang kecil-kecil dan secara perlahan, tremor dapat jelas terlihat ketika menggambar lingkaran yang konsentrik
Wajah seperti topeng    Mata yang melotot, tidak berkedip, ekspresi dingin; berkedip dua atau tiga kali/menit (berkedip yang normal 12-20 kali/menit
Suara mendatar (monotonea)    Bicara tanpa ekspresi
Refleks hiperaktif glabelar    Sensitivitas yang berlebihan terhadap ketukan jari ditas glabela (antara alis mata) menyebabkan pasien berkedip setiap kali ketukan (membutuhkan usaha untuk orang normal berkedip); tanda awal penyakit parkinson
(Sylvia A. Prince, dkk, 2006)

Kriteria diagnosis klinis
1.    Didapatkan 2 dari 3 tanda kardial (utama) gangguan motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia, atau
2.    Tiga dari empat tanda motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia, ketidak stabilan postural
Pada setiap kunjungan pasien juga perlu dilakukan pengamatan dan pemeriksaan fisik untuk mengetahui perkembangan penyakitnya tersebut, hal ini yang perlu dinilai adalah sebagai berikut; (Sudoyo W, dkk, 2006)
1.    Tekanan darah diukur dalam keadaan berbaring dan berdiri, hal ini untuk mendeteksi hipotensi ortostatik.
2.    Menilai respons terhadap stress ringan, misalnya berdiri dengan tangan diekstensikan, menghitung surut dari angka seratus, bila masih ada tremor dan rigiditas yang sangat, berarti belum berespon terhadap medikasi.
3.    Mencatat dan mengikuti kemampuan fungsional, disini penderita disuruh menulis kalimat sederhana dan menggambarkan lingkaran-lingkaran konsentris dengan tangan kanan dan kiri diatas kertas, kertas ini disimpan untuk perbandingan waktu follow up berikutnya.
Kriteria diagnosis klinis modifikasi (Kriteria Hughes)
•    Possible (mungkin): adanya salah satu gejala tremor, rigiditas, akinesia atau bradikinesia, gangguan postural. Tanda-tanda minor yang membantu ke arah diagnosis klinis possible: myerson signs, menghilang atu berkurangnya ayunan lengan, refleks menggenggam
•    Probable (kemungkinan besar): kombinasi dari dua gejala tersebut diatas (termasuk gangguan refleks postural), salah satu dari tiga gejala pertama asimetris.
•    Definite (pasti): setiap kombinasi 3 dari 4 gejala; pilihan lain: setiap dua dengan satu dari tiga gejala pertama terlihat asimetris.
Kriteria diagnosis Gelb dan Gilman
•    Gejala PP kelompok A (utama)
-    Tremor
-    Bradikinesis
-    Rigiditas
-    Permulaan asimetris
•    Gejala PP kelompok B (tak lazim)
-    Instability Postural
-    Fenomena Freezing
-    Halusinasi
-    Dementia sebelum gejala motorik
•    Possible (mungkin): adanya 2 dari 4 gejala karidal (resting tremor, bradikinesia, rigiditas, onset asimetrik). Tidak ada gambaran yang menuju ke arah diagnosis lain termasuk halusinasi yang tidak berhubungan dengan obat, demensia, supranuclear gaze palsy atau disotom. Mempunyai respon yang baik terhadap levodopa atau agonis dopamin.
•    Probable (kemungkinan besar) terdapat tiga dari 4 gejala kardinal, tidak ada gejala yang mengarah ke diagnosis lain dalam 3 tahun, terdapat respon yang baik terhadap levodopa atau agonis doapmin
•    Definite (pasti) seperti probable disertai dengan pemeriksaan histopatologi yang posif.
Kriteria diagnosis Koller
•    Didapat 2 dari 3 tanda kardial gangguan motorik: tremor istirahat atau gangguan refleks postural, rigiditas, bradikinesia yang berlangsung satu tahun atau lebih
•    Respon terhadap terapi levodopa yang diberikan sampai perbaikan sedang (minimal 1.000 mg/hari selama 1 bulan), dan lama perbaikan 1 tahun atau lebih
Untuk menentukan berat ringannya penyakit digunakan penetapan stadium klinis penyakit parkinson berdasarkan Hoehn dan Yahr, sebagai berikut (Sudoyo W, dkk, 2006)

Tabel 2.3 Stadium Penyakit Parkinson
I    Unilateral, ekspresi wajah berkurang, posisi fleksi lengan yang terkena, tremor, ayunan lengan berkurang
II    Bilateral, postur membungkuk ke depan, gaya jalan lambat dengan langkah kecil-kecil, sukar membalikkan badan
III    Gangguan gaya berjalan menonjol, terdapat ketidakstabilan postural
IV    Disabilitasnya jelas, berjalan terbatas tanpa bantuan, lebih cenderung jatuh
V    Berdiri/berjalan meskipun dibantu, bicara tidak jelas, wajah tanpa ekspresi, jarang berkedip.
(Sylvia A. Prince, dkk, 2006)
Gambaran PA (Patologi Anatomi) Penyakit Parkinson
Secara patologi terdapat hilangnya pigmentasi di daerah substansia nigra dan badan lowy (inklusi sitoplasmik) serta penurunan dopamin di neuron substansia nigra pars kompakta dan korpus striatum. (Azwar A, dkk, 2011)
Lesi primer pada penyakit Parkinson adalah degenerasi sel saraf yang mengandung neuromelanin di dalam batang otak , khususnya di substansia nigra pars kompakta, yang menjadi terlihat pucat dengan mata telanjang.

    
Gambar 2.2  Lesi Substasia Nigra pada Penyakit Parkinson

Substansia nigra pada penderita penyakit Parkinson memperlihatkan depigmentasi menyolok pada pars kompakta, menunjukkan degenerasi sel saraf yang mengandung neuromelanin. (Robert Silitonga, 2007)
Dengan mikroskop elektron terlihat neuron yang bertahan hidup mengandung inklusi eosinofilik sitoplasmik disertai halo ditepinya yang dikenal sebagai Lewy Body. Lewy body ditemukan di nucleus batang otak tertentu biasanya mempunyai diameter >15 cm, berbentuk sferis dan inti hialin yang padat. Komponen struktural yang predominan pada Lewy body terlihat berupa bahan filamen yang tersusun dalam pola sirkuler dan linear , kadang terjulur kearah dari inti yang padat elektron. Lewy body bukan gambaran yang spesifik pada penyakit Parkinson karena juga ditemukan pada beberapa penyakit neurodegeneratif lain yang langka. (Robert Silitonga, 2007)
Pemeriksaan radiologi
Pada pemeriksaan radiologi biasanya ditemukan:
•    EEG (biasanya terjadi perlambatan yang progresif)
•    CT Scan kepala (biasanya terjadi atropi kortikal difus, sulki melebar, hidrosefalua eks vakuo)

2.9    Diagnosa banding
Penyakit Parkinson ini harus dibedakan dengan penyakit degeneratif yang lain seperti multi system, progesif supra nuclear palsy, degenerasi kortiko basal, demensia frontotemporal dengan gejala parkisonisme, atau parkinson karena penyakit vaskuler. Gejala parkinsonisme ini juga sering ditemui pada penyakit infeksi (ensefalitis letargi, intoksikasi, kondisi iatrogenik dan gangguan SSP.  Untuk membedakan anatara parkinson idiopatik dapat dilakukan pemeriksaan genetik. (Sudoyo W, dkk, 2006)

Tabel 2.4 Kriteria untuk Menyingkirkan Diagnosis Penyakit Parkinson Penyebab Lain  Parkinsonism
Kriteria    Kemungkinan Diagnosis
1    Riwayat dari    
a.    Ensefalitis    Pasca ensefalitis
b.    Terpapar lama dengan CO, Mn atau toksin lain     Toxin-induced
c.    Mendapat obat-obat neuroleptik    Drung-induced
2    Munculnya gejala parkinsonism mengikuti    
a.    Trauma kepala    Pasca trauma
b.    Stroke     Vaskuler
3    Ditemukan gejala  ini pada pemeriksaan fisik   
a.    Ataksia serebral    OPCA, MSA
b.    Gerakan ke bawah okuler menghilang     PSP
c.    Adanya hipotenssi postural tanpa makan obat    MSA
d.    Adanya rigiditas satu sisi dengan atau tanpa distonia, apraksia, kehilangan sensor kortikal     CBGD
e.    Myoclonus    CBGD, MSA
f.    Pada awal penyakit terdapat gaya berjalan jatuh atau kaku    PSP
g.    Disfungsi otonom yang bukan karena obat     MSA
h.    Mengeluarkan air liur terus    MSA
i.    Demensia awal atau halusinasi karena memakai obat    DLBD
j.    Distonia yang diinduksi oleh levodopa    MSA
4    Neuroimaging (MRI atau CT-scan) terdapat   
a.    Infark lakunar    Vaskuler
b.    Ventrikel-ventrikel serebral melemah     NPH
c.    Atropi serebelar    OPCA, MSA
d.    Atropi otak tengah atau bagian lain dari brain-stem    PSP, MSA
5    Efek obat   
a.    Respon jelek terhadap levodopa    PSP, MSA, CBGD, vaskuler, NPH
b.    Tidak ada diskinesia meskipun mendapat dosis tinggi mendapat levodopa   
Keterangan: CBGD (Cortical-basal ganglionic degeneration); DLBD (diffuse Lewy body disease, juga disebut demensia dengan Lewy Bodies); MSA (Multiple system atrophy); NPH (Normal pressure hydrocephalus); OPCA (Olivo-ponto-cerebellar atrophy); mungkin merupakan salah satu bentuk dari MSA; PSP (Progressive supranuclear palsy)
(Sylvia A. Prince, dkk, 2006)

2.10    Komplikasi
HIPOKINESIA
1.    Atrofi/kelemahan otot sekunder
2.    Kontruktur sendi
3.    Dformitas:  kifosis, scoliosis
4.    Ostoeporosis
GANGGUAN FUNGSI LUHUR
1.    Afasia
2.    Agnosia
3.    Apraksia
GANGGUAN POSTURAL
1.    Perubahan kardio-pulmonal
2.    Ulkus dekubitus
3.    Jatuh
GANGGUAN MENTAL
1.    Gangguan pola tidur
2.    Emosional
3.    Gangguan seksual
4.    Depresi
5.    Bradifenia
6.    Psikosis
7.    Demensia
GANGGUAN VEGETATIF
1.    Hipotensi Postural
2.    Inkontinensia urine
3.    Gangguan keringat

2.11    Penatalaksanaan
Secara garis besar konsep terapi farmakologis maupun pembedahan pada penyakit parkinson dibedakan menjadi 3 hal, yaitu: (Sudoyo W, dkk, 2006)
•    Simtomatis, untuk memperbaiki gejala dan tanda penyakit
•    Protektif, dengan cara mempengaruhi patofisiologi penyakit
•    Restoratif, mendorong neuron baru atau merangsang pertumbuhan dan fungsi sel neuron yang masih ada.
Pilihan terapi penyakit parkinson dapat dibagi menjadi beberapa pendekatan sebagai berikut:
•    Meningkatkan transmisi dopaminergik dengan jalan: 1). Meningkatkan konsentrasi dopamin pada sinaps (levodopa); 2). Memberikan agonis dopamin; 3). Meningkatkan pelepasan dopamin; 4). Menghambat reuptake dopamin; 5). Menghambat degradasi dopamin
•    Manipulasi neurotransmiter non-dopaminergik dengan obat-obat antikolinergik dan obat-obat lain yang dapat memodulasi sistem non-dopaminergik
•    Memberikan terapi simtomatik terhadap gejala parkinsonism yang muncul
•    Memberikan obat-obat neuroprotektif untuk menghambat progresivitas PP dengan mencegah kematian sel-sel neuron
•    Terapi pembedahan; ablasi (tallamotomy, pallidotomy), stimulasi otak dalam, brain grafing (bertujuan untuk memperbaiki atau mengembalikan seperti semula proses patologi yang mendasari)
•    Terapi pencegahan/preventif: menghilangkan faktor resiko aatau penyebab PP.
Tujuan utama terapi PP adalah memulihkan disabilitas fungsional yang disandang penderita. Biasanya penatalahksanaan dilakukan secara komperhensif baik dengan obat, perbaikan diet dengan mengurangi asupan protein sampai 0,5-0.8 gram/kg BB perhari terapi fisik berupa latihan teratur utnutk mempertahan penderita tetap dapat berjalan. (Sudoyo W, dkk, 2006)
Dopamin memiliki dua reseptor yaitu D1 yang bersifat eksitatorik dan reseptor D2 yag bersifat inhibitorik. dalam keadaan normal setelah proses degenerasi dopamin (DA)  dilepaskan dari ujung saraf nigrostriatum akan merangsang reseptor D1 dan D2. Keberadaan DA bila tidak diperlukan lagi akan dikonversi sebagai: (Sudoyo W, dkk, 2006)
•    3-0-methyldopa oleh enzim cathecol-0-methyltransferase (COMT).
•    3-4 dihydroxyphenilacetic acid oleh enzim monoamine oxidase (MAO).
TERAPI MEDIKAMENTOSA
Ada 6 macam obat utama yang dipergunakan untuk penatalaksanaan PP, yaitu:
Obat yang Mengganti Dopamin (Levodopa, Carbidopa)
Obat ini merupakan obat utama, hampir selalu digunakan untuk terapi PP. Di dalam badan levodopa akan diubah sebagai dopamin. Obat ini sangat efektif untuk menghilangkan gejala karena langsung  mengganti DA yang produksinya sangat menurun akibat degenerasi SNc. Efek samping obat ini antara lain, mual, dizziness, muntah, hipotensi postural, dan konstipasi. Obat ini juga mempunyai efek samping jangka lama yaitu munculnya diskinesia (gerakan involunter yang tidak dikehendaki seperti korea, mioklonus, distonia, akatisia). Ada kecenderungan obat ini memerlukan peningkatan dosis bila dipakai sendirian. Pada pemakaian obat ini juga dikenal fenomena “On-Off” atau disebut fenomena “Wearing Off. Oleh sebab itu pemakaian obat ini harus dipantau dengan baik. (Sudoyo W, dkk, 2006)
Dosis: Levodopa (dopar) 2000-500 mg/hari dalam dosis terbagi, Carbidopa (Lydosyn) Sp. 100 mg/hari dalam dosis terbagi, Carbidopa-Levodopa (Sinement) 40/400-200/2000 mg/hari dalam dosis terbagi. (Kane et al, 1994; Nadeau SE, 1997)
Agois dopamin (Bromocriptine, pergolide, pramipexole, ropinirol)
Merupakan obat yang mempunyai efek serupa dopamin pada reseptor D1 dan D2 dibadan kita tidak akan mengalami konversi, sehingga dapat digunakan sebagai obat tunggal pengganti levodopa. Biasanya dipakai sebagai kombinasi utama dengan levodopa-carbidopa agar dapat menurunkan dosis levodopa, sehingga dapat menghindari terjadinya diskinesia atau mengurangi fenomena on-off. Efek samping obat ini adalah halusinasi, psikosis, eritromelalgia, edema kaki, mual, dan muntah. Sayangnya obat ini tidak dapat mengurangi progresifitas PP. (Sudoyo W, dkk, 2006)
Dosis: Bromokriptin (Parlodel, Elkrip) 1-1,5 mg 3-4 x/hari ditingkatkan sampai max 100-200 mg/dosis terbagi, Pramipreksol (Mirapeks, Sifrol) 3x0,5-1 mg/hari, Ropinirol (Requip) 3x3-5 mg/hari. (Kane et al, 1994; Nadeau SE, 1997)
Antikolinergik (Benztropin, Triheksifenidil, Biperiden)
obat ini menghambat aksi neurotransmiter otak yang disebut asetilkolin. obat ini membantu mengkoreksi keseimbangan antara dopamin dan asetilkolin, sehingga dapat mengurangi gejala tremor. Efek samping obat ini antara lain mulut kering dan mata kabur. Sebaiknya jenis obat ini tidak diberikan pada penderita PP yang berusia diatas 70 tahun, karena dapat mengakibatkan penurunan daya ingat dan retensio urin pada laki-laki.
Dosis: Benztropin Mesilat (Cogentin) 0,5-8 mg/hari dosis terbagi,  Triheksilpenidil (Artane) 2-20 mg/hari dosis terbagi. Kane et al, 1994; Nadeau SE, 1997)
Penghambat Monoamin Oxsidase/MAO (Selegilline)
Peranan obat ini untuk mencegah degradasi dopamin menjadi 3-4 dihydroxyphenilacetic di otak. Karena MAO dihambat maka umur dopamin menjadi lebih panjang. Biasanya dipakai sebagai kombinasi dengan gabungan levodopa-carbidopa. Selain itu obat ini bisa berfungsi sebagai anti depresi ringan (merupakan obat pilihan pada PP dengan gejala depresi menonjol). Efek samping obat ini berupa penurunan tekanan darah dan aritmia.
Dosis: Selegilin (Eldepril) 10 mg/hari sekali sehari
Amatadin
Berperan sebagai pengganti dopamin, tetapi bekerja dibagian lain otak. Obat ini dulu dipakai sebagai obat antivirus, selanjutnya diketahui ternyata dapat menghilangkan gejala PP dan dapat menghilangkan fluktuasi motorik (fenomena on-off) dan diskinesia pada penderita penderita PP lanjut. Dapat dipakai sendirian atau sebagi kombinasi dengan levodopa atau agonis dopamin. Efek samping obat yang paling menonjol mengakibatkan mengantuk. Obat ini dieliminasi lewat ginjal
Dosis: Amantadin (Symmetrel) 100-300 mg/hari
Penghambat Catechol-0-Methyl Transferase/COMT (Tolcapone, Entacopone)
Ini merupakan obat yang relatif baru, berfungsi menghambat degradasi dopamin oleh enzim COMT dan memperbaiki transfer levodopa ke otak. Mulai dipakai levodopa saat efektivitas levodopa menurun. Diberikan bersama setiap dosis levodopa. Obat ini dapat memperbaiki fenomena on-off. Memperbaiki kemampuan aktifitas kehidupan sehari-hari (AKS). Efek samping obat ini berupa gangguan terhadap fungsi hati, sehingga perlu diperiksa tes fungsi hati secara serial pada penggunanya. Obat ini juga menyebabkan perubahan warna urin menjadi merah oranye.
Selain obat utama tersebut diatas sering juga diberikan obat-obat neuroprotektif seperti antioksidan dan obat-obat yang memperbaiki metabolisme otak. Obat lain yang sering digunakanm juga adalah obat antidepresi dan ansietas (berdasarkan indikasi yang tepat).
TERAPI PEMBEDAHAN
Sebagian besar penderita PP dapat memperbaiki kualitas hidupnya dengan terapi medika mentosa diatas, tetapi ada juga yang tidak dapat dikendalikan dengan obat, terutama efek fluktuasi motorik. Pada saat on f penderita dapat bergerak dengan mudah, terdapat perbaikan pada gejala tremor dan kekakuannya. Pada saat off f penderita akan sangat sulit bergerak, tremor dan kekakuan tubuhnya meningkat. Periode off adakalanya muncul sejak awal pemberian levodopa dan tidak dapat diatasi dengan meningkatkan dosis, kejadian ini disebut “wearing off”. Pemakaian lama levodopa sering terkena efek samping obat berupa munculnya gejala diskinesia. Wearing off f dan diskinesia yang terjadi pada penderita pp kadag-kadang tidak dapat dikontrol dengan terapi medika mentosa dan memerlukan terapi pembedahan. (Sudoyo W, dkk, 2006)
Ada beberapa tipe prosedur pembedahan yang dikerjakan untuk penderita PP, yaitu: (Sudoyo W, dkk, 2006)
1.    Teori Ablasi Lesi Di Otak
2.    Terapi Stimulasi Otak Dalam (Deep Barain Stimulation, DBS
3.    Transplantasi Otak (Brain Grafting).

Bagan 2.4 Algoritme Penatalaksanaan Penyakit Parkinson


















Bagan 2.5 Agoritme Manajemen Penyakit Parkinson

TERAPI REHABILITATISI
Rehabilitasi penderita PP sangat penting. Tanpa terapi rehabilitasi penderita PP akan kehilangan aktivitas fungsional kehidupan sehari-hari (AKS). Latihan yang diperlukan penderita PP meliputi latihan fisioterapi, okupasi, dan psikoterapi. (Sudoyo W, dkk, 2006)
Latihan fisioterapi meliputi: latihan gelang bahu dengan tongkat, latihan ekstensi trunkus, latihan frenkle untuk berjalan dengan menapakkan kaki pada tanda-tanda di lantai, latihan isometrik untuk otot kuadrisep femoralis dan otot ekstensor panggul agar memudahkan menaniki tangga dan bangkit dari kursi. (Sudoyo W, dkk, 2006)
Latihan okupasi yang memerlukan pengkajian AKS pasien, pengkajian lingkungan tempat tinggal atau pekerjaan. Dalam pelaksanaan latihan dipakai berbagai macam strategi, antara lain: (Sudoyo W, dkk, 2006)
Strategi kognitif, untuk menarik perhatian penuh/konsentrasi, bicara jelas, dan tidak cepat, mampu menggunakan tanda-tanda verbal maupun visual dan hanya melakukan satu tugas kognitif maupun motorik
Strategi gerak, seperti bila akan berbelok saat berjalan gunakan tikungan yang agak lebar, jika kedua kaki harus agak lebar bila ingin memungut dari lantai.
Strategi keseimbangan: melakukan AKS dengan duduk atau berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar dan dengan berpegangan pada dinding. Hindari ekskalator atau pintu berputar. Saat berjalan di tempat ramai atau lantai tidak rata harus konsentrasi penuh jangan berbicara  atau melihat sekitar.
Seorang psikolog diperlukan untuk mengkaji fungsi kognitif, kepribadian, status mental pasien dan keluarganya. Hasilnya digunakan untuk melakukan terapi rehabilitasi kognitif dan melakukan intervensi psikoterapi.

2.12    Prognosis
Banyak peneliti yang mengemukakan sulitnya menetapkan prognosis penyakit parkinson karen aperjalanan penyakitnya susah diramalkan. Prognosis yang dimaksud adalah lama penyakit, komplikasi, harapan kesembuhan, dan hasil terapi. (Azwar Agoes, dkk 2011)
Walaupun penyakit parinson merupakan penyakit yang serius dan progresif tetapi penyakit ini tidak dianggap membawa kematian. Mereka yang mengidap penyakit ini mempunyai umur harapan hidup yang sama dengan harapan hidup individu yang tidak mengidapnya. Namun hal tersebut  akan berbeda jika pasien sudah mencapai tahap lanjut karena gejala parkinson dapat mengarah pada komplikasi yang membahayakan  nyawa, seperti cedera terjatuh, radang paru-paru dan tercekik. (Azwar Agoes, dkk 2011)
Dengan pengobatan yang tepat, pengidap penyakit parkinson dapat mencapai kualitas hidup yang baik untuk bebrapa tahun ke depan. Para peneliti yakin pada suatu saat nanti mereka akan menemukan cara menghentikan perkembangan penyakit ini dan bahkan mengembalikan fungsi tubuh yang hilang. (Azwar Agoes, dkk 2011)

2.13    Pencegahan
Sampai saat ini tindakan yang tepat meramalkan atau mencegah timbulnya penyakit ini belum dapat ditemukan. (Azwar Agoes, dkk 2011)





























BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Penyakit Parkinson atau paralisis agitans merupakan bagian dari parkinsonisme idiopatik yang secara patologis ditandai dengan degenerasi ganglia basalis terutama di substansia nigra pars kompakta (SNc) yang disertai dengan adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (lewy bodies). Karakteristik gejala pada penyakit parkinson yaitu  tremor, kekakuan otot dan sendi (rigidity), kelambanan gerak dan bicara (bradikinesia), dan instabilitas posisi tegak (postural instability)Disebut juga Parkinsonisme idiopatik atau primer.
Parkinsonisme adalah suatu sindrom yang ditandai dengan tremor ritmis, bradikinesia, kekauan otot, dan hilangnya refleks tubuh. Gangguan gerakan terutama terjadi akibat defek pada jalur dopaminergik (penghasil dopamin) yang menghubungkan subtansia nigra dengan korpus striatum (nukleus kaudatus dan letikularis). Ganglia basalis merupakan bagian dari sisitem ekstrapiramidal yang mempengaruhi awal, modulasi, akhir pergerakan dan mengatur gerakan automatis.
Penyakit parkinson terjadi jika sel saraf (autonom) yang mengatur gerakan mengalami jejas atau mati. Sedang faktor resikonya bisa dari genetik, ras, umur, lingkungan, cedera kranioserebral dan stres emosional.
Gejala utamanya adalah tremor, bradikinesia, rigiditas, dan perunahan postur tubuh.
Secara garis besar konsep terapi farmakologis maupun pembedahan pada penyakit parkinson dibedakan menjadi 3 hal, yaitu simtomatis, protektif, restoratif.

3.2    Saran
Semoga refrat ini dapat bermanfaat baik untuk penulis sendiri maupun untuk pembaca. Penulis sadar akan kekurangan yang ada dalam refrat ini, oleh sebab itu penulis berharap uluran saran dari para pembaca untuk kebaikan refrat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Azwar, dkk. 2010. Penyakit di Usia Tua. Penyakit Parkinson. Jakarta. EGC. Hal 147-152
Darmojo, Boedi, dkk. 1999. Buku Ajar Geriatri Ilmu Keehatan Usia Lanjut Edisi ke-3. Penyakit Parkinson. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal 375-379
Ganong, William F., and Mcphee, Stephen J. 2011. Patofisiologi Penyakit  Edisi 5. Penyakit Parkinson. Jakarta. EGC. Hal 188-189
Martono, Hadi, dkk. 2009. Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut Ed. 4. Penyakit Parkinson. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal 510-514
Prince, Sylvia A., and Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Edisi 6. Parkinsonisme. Jakarta. EGC. Hal 1141-1144
Sudoyo, W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Penyakit Parkinson. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal 1373-1377




Senin, 06 Februari 2012

MEDICAL STUDENT SYNDROME

        Medical student syndrome “MSS” also named medical student disorder, medical student disease and hypochondriasis of medical students is a condition frequently reported in medical students nowadays.
      MSS is a constellation of psychiatric symptoms that affect the mood and behaviour of a medical student, especially during the first year of studying medicine.
While Medical students are learning medicine they read lists of symptoms for different diseases daily. Although they are completely healthy, they feel that they are suffering from the symptoms of specific diseases and they have it.
    For example: If a medical student is reading about swine flu he may feel its symptoms and do unnecessary laboratory tests to confirm his wrong diagnosis.
Now the disease included millions of non medical students who can easily search in the internet about any disease and believe in having its symptoms. 

Medical Student Syndrome atau Sindrom mahasiswa kedokteran. Memang kesannya agak “seram” akan tetapi inilah yang banyak ditemukan oleh para peneliti di era informasi ini.
Medical student syndrome atau syndrome mahasiswa kedokteran ini adalah salah satu tipe hipokondria pribadi (wikipedia), maksudnya syndrome ini biasanya keluar karena adanya dorongan yang muncul dari dalam diri si individu ini. Syndrome ini muncul dikarenakan ketika seseorang membaca atau mempelajari mengenai satu penyakit atau kelainan dan tiba-tiba ia merasa percaya bahwa tubuhnya juga mempunyai kelainan atau penyakit yang sama.

Baars (2001) menulis : Mahasiswa kedokteran yang mempelajari penyakit menakutkan untuk pertama kalinya secara rutin mengembangkan delusi jelas memiliki apa pun yang mereka sedang belajar. Sementara ini jenis penyakit bersedih hati begitu umum yang telah memperoleh nama, "sindrom mahasiswa kedokteran."

Syndrome ini memang bisa menyerang siapa saja, tetapi banyak peneliti yang meyakini kebanyakan yang terkena “penyakit” syndrome ini yaitu para mahasiswa atau mahasiswi kedokteran.
Hodges (2004), tinjauan pustaka, mengatakan bahwa "deskripsi pertama mahasiswa kedokteran 'penyakit muncul di tahun 1960-an Dia mungkin telah merujuk pada frase, karena fenomena itu sendiri dicatat lebih awal. Lincoln Walton (1908) melaporkan bahwa
Instruktur medis secara terus-menerus berkonsultasi dengan para siswa yang ketakutan bahwa mereka memiliki penyakit yang mereka pelajari. Pengetahuan bahwa radang paru-paru menghasilkan rasa sakit di tempat tertentu mengarah pada konsentrasi perhatian atas wilayah itu yang menyebabkan setiap sensasi di sana untuk memberikan alarm. Sekedar pengetahuan tentang lokasi apendiks mengubah sensasi yang paling berbahaya di daerah itu menjadi ancaman serius gejala. (dikutip dari wikipedia)

Ketika seseorang mempelajari atau membaca sesuatu tentang gejala2 penyakit, mereka merasa pernah mengalami gejala-gejala yang dibacanya tersebut. Misalnya, gejala2 penyakit flu babi yaitu demam tinggi disertai batuk-batuk dan sakit tenggorokkan, seorang yang membaca satu gejala flu babi dan terkena medical student syndrome ini merasa dirinya tertular penyakit flu babi ketika suatu ketika ia merasakan badannya panas disertai tenggorokkan yang sakit. Atau untuk yang jangka panjang seperti contohnya, gejala-gejala penyakit tumor otak yaitu kepala pusing yang berlebihan, ketika seseorang itu mengingat pernah mengalami hal yang sama, maka ia merasa dirinya juga mempunyai penyakit tumor otak tersebut.

Mungkin para individu yang mengalami ini, kemungkinan belum banyak ilmunya, alias kurang mengetahui informasi yang diterimanya. Karena syndrome ini biasanya ditemukan pada masyarakat awam yang keranjingan internet. Mereka membaca beberapa artikel dari internet yang berhubungan dengan suatu gejala atau penyakit tertentu sebelum mereka memutuskan untuk pergi ke dokter. Tidak jarang akhirnya orang-orang tersebut menyangka bahwa dirinya menemukan gejala – gejala penyakit yang dibacanya di dalam diri mereka, padahal kenyataannya penyakit yang diderita mereka tidaklah separah yang mereka bayangkan. 



 

Kamis, 12 Januari 2012

BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Demensia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat, dimana akibatnya tidak hanya menjadikan beban pada penderitanya saja tetapi juga keluarganya, teman-temannya dan lingkungannya. Demensia merupakan suatu sindroma klinis yang terdiri dari gejala-gejala gangguan atau kerusakan fungsi kognitif global yang tidak disertai gangguan derajat kesadaran, namun bergandengan dengan perubahan tabiat yang dapat berkembang secara mendadak atau sedikit demi sedikit pada tiap orang dari semua golongan usia. Komponen fungsi kognitif yang dapat dipengaruhi pada demensia adalah intelegensia umum (kecerdasan umum), belajar dan ingatan, bahasa, memecahkan masalah, orientasi, persepsi, perhatian, konsentrasi, pertimbangan dan kemampuan sosial beserta emosi. Oleh karena itu sangat penting untuk membedakan fase awal demensia dengan perubahan kognitif yang normal. (Mardjono, Sidharta. 2010; Cumming, Trimbley. 1995; Foley, 1987)

Dari aspek medis, demensia merupakan masalah yang tak kalah rumitnya dengan masalah yang terdapat pada penyakit kronis lainnya (stroke, diabetes mellitus, hipertensi, keganasan). Ilmu kedokteran dan kesehatan mengemban misi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Seseorang yang mengalami demensia pasti akan mengalami penurunan kualitas hidup. Keberadaannya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat menjadi beban bagi lingkungannya, tidak dapat mandiri lagi.

Menurut data Asia Pasifik tahun 2006, jumlah orang yang menderita demensia di wilayah Asia Pasifik pada tahun 2025 diperkirakan meningkat lebih dari dua kali lipat dan peningkatan ini akan lebih cepat dibandingkan dengan yang terjadi di negara-negara barat. Sementara di dunia, pada tahun 2040 jumlah penderita demensia diperkirakan menjadi sekitar 80 juta orang. (Demensia di kawasan asia pasifik, 2006)

Menurut Pratice Guideline For The Treatment Of Patients With Alzheimer’s Disease And Other Demntians Of Late Life Dari The American Psychiatric Association (APA) awitan penyakit ini umumnya paling kerap terjadi pada usia 60-an, 70-an dan 80-an keatas, namun pada kasus yang jarang gangguan ini muncul pada usia 40-an, dan 50-an (dimensia dini), Insidens penyakit Alzhaimer juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Dan diperkirakan angkanya 0,5 persen pertahun dari usia 80 sampai 84, dan 8 persen pertahun dari usia 85 tahun keatas. Progresinya bertahap namun terus menurun. Taksiran kematian sejak awitan gejala sebelumnya diperkirakan antara 5 sampai 9 tahun, namun pada penelitian terhadap alzhaimer tahun 2001, angka harapan hidup hanya 3 tahun setelah awitan gejala. (Benjamin J. & Virginia A. Sadock, 2004)

Tipe demensia tersering kedua adalah demensia vaskuler, yang secara kausatif berhubungan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi juga membuat seseorang memiliki predisposisi terhadap penyakit ini. Demensia vaskuler mencakup 15 sampai 30  persen seluruh kasus demensia. Demensia vaskuler paling sering terjadi pada pria di bandingkan wanita. Sekitar 10 sampai 15 persen pasien menderita demensia vaskuler dan demensia tipe alzhaimer sekaligus. (Benjamin J. & Virginia A. Sadock, 2004)

Referat ini akan membahas sejauh mungkin beberapa etiologi, faktor predisposisi, diagnosis dan penatalaksanaan dini yang berkaitan dengan terjadinya demensia.

Definisi
Demensia berasal dari bahasa latin yang terdiri dari kata dement yang artinya gila dan kata ia yang artinya keadaan patologis. (Yoesoef, 1998)
Ada beberapa pendapat yang memberikan definisi tentang demensia yang memberikan definisi tentang demensia, antara lain:
1.    Demensia adalah sindrom yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dapat diperbaharui pada demensia adalah intelegensi umum, belajar dan ingatan, bahasa memecahkan masalah, orientasi, persepsi, perhatian dan konsentrasi, pertimbangan dan kemampuan sosial. (Kaplan & Sadok, 2004)

2.    Demensia adalah suatu sindrom klinik yang khas dengan rusaknya paling sedikit tiga komponen kognitif: bahasa, daya ingat, keterampilan visual ruang, kemampuan eksekutif dan emosi. Kerusakan tersebut di dapat dan persisiten. Penyebab demensia sangat luas, ada yang irevesibel, perjalanannya progresif ada yang konsisten, ada yang remisi pada sebagian fungsi kognitif. Derajatnya sedang, ringan, berat, dan mengganggu interaksi sosial (Cumming, 1995)

3.    Demensia adalah suatu sindrom klinik, khas dengan kerusakan lebih dulu dari fungsi kortikal luhur termasuk gangguan daya ingat dan gangguan fungsi kognitif lainnya seperti berbahasa, orientasi, kemampuan kontruksi, berpikir abstrak, pemecahan masalah. Penampilan sosial dan lingkungan terganggu, perubahan kepribadian dan effek hampir selalu ada, tetapi kesadaran tetap utuh kecuali pada fase akhir. DSM-IV (1994) (American Psychiatric Association, 1994)

4.    Demensia adalah kumpulan gejala klinik yang disebabkan oleh berbagai latar belakang penyakit dan ditandai oleh hilangnya daya ingat jangka pendek (Recent Memory) dan gangguan global fungsi mental termasuk fungsi bahasa, mundurnya berpikir abstrak, kesulitan melawan diri, perubahan perilaku, emosi labil dan hilangnya pengenalan waktu dan tempat. (Perdosis, lampilan 1)

5.    Demensia adalah sindroma klinik khas dengan penurunan intelektual dan kemampuan sosial (aktifitas kehidupan sehari-hari). Gangguan intelektual mengenai lebih dari satu fungsi kognitif lainnya seperti atensi, bahasa keterampiral, visual ruang, persepsi, pemecahan masalah. Awitan penyakit biasanya progresif tetapi ada beberapa yang dapat dihentikan bila etiologi yang dapat disembuhkan ditemukan. Tidak jarang terjadi affek, motivasi dan gangguan kepribadian. (Peterson, 1999).

6.    Menurut WHO dalam Clinical Deskriptions and Diagnostic Guidelines for Mental and Behavioural Disorders dan International Classification of Diseases (10th Revision) (ICD-10) (2008) demensia memiliki ciri-ciri yang harus ada diantaranya:
a.    Kemunduran kemampuan intelektual terutama memori yang sampai menganggu aktivitas-aktivitas keseharian sehingga menjadikan penderita sulit bahkan tidak mungkin untuk hidup secara mandiri.
b.    Mengalami kemunduran dalam berfikir, merencanakan dan mengorganisasikan hal-hal dari hari ke hari.
c.    Awalnya, mengalami kesulitan menyebutkan nama-nama benda, orientasi waktu, tempat.
d.    Kemunduran pengontrolan emosi, motivasi, perubahan dalam perilaku sosial yang tampak dalam kelabilan emosi, ketidak mampuan melakukan ritual keseharian, apatis (tidak peduli) terhadap perilaku sosial seperti makan, berpakaian dan interaksi dengan orang lain.

Dari beberapa definisi  tersebut dapat diambil kesimpulan yang sama dan pokok, yaitu: (Pernojo Dahlan, 1999)
1.    Gangguan kognitif lebih dari satu
2.    Gangguan daya ingat selalu ada
3.    Progresif dan persisiten, tetapi ada yang refesibel
4.    Gangguan affek, perilaku dan kepribadian hampir selalu ada
5.    Gangguan sosial
6.    Etiologi luas dan mengenai otak
Sejarah
Pada zaman Romawi dari kata Latin sebenarnya, kata demens tidak memiliki arti konotasi yang spesifik. Yang pertama kali menggunakan kata demensia adalah seorang enclyopedist yang bernama Celcus di dalam publikasinya De re medicine sekitar 30 yang mengartikan demens sebagai istilah gila. Seabad kemudian seorang tabib dari Cappodocian yang bernama Areteus menggunakan istilah senile dementia pada seorang pasien tua yang berkelakuan seperti anak kecil. Kemudian pada awal abad ke 19 seorang psikiater Prancis yang bernama Pinel menghubungkan terminologi demensia dengan perubahan mental yang progresif pada pasien yang mirip idiot (Sjahrir,1999)

Sampai abad ke 19 istilah demensia dianggap sebagai masa terminal dari penyakit kejiwaan yang membawa kematian. Baru pada awal abad ke 20, yaitu tahun 1907 Alzheimer mempublikasikan suatu kasus yang berjudul “A Unique Illnes involving cerebral cortex” pada pasien wanita umur 55 tahun. Kemudian kasus itu ditabalkan sebagai penyakit Alzheimer. Pasien ini masih relatif muda dan secara progresif bertahap mengalami gejala seperti psikosis dan demensia kemudian meninggal 4-5 tahun setelah onset serangan pertama. Pada otopsi ditemukan 1/3 dari bagian neuron kortek menghilang dari neuron yang tinggal menggembung berisi gumpalan fiber dalam sitoplasmanya. Alzheimer menduga adanya perubahan kimiawi di dalam neurofibril. Alzheimer lah yang pertama kali menemukan dan menamakan neurofibrillary tangles (NT) dimana NT bersamaan dengan senile plaque (SP) dianggap sebagai penanda diagnostik Alzheimer Disease. (Sjahrir,1999)
Epidemiologi
Dari banyak data yang tersedia hasil studi prevelensi demensia, menunjukkan kenaikan prevelensi yang mencolok seiring dengan meningkatnya umur. (Benjamin J. & Virginia A. Sadock, 2009)
Sebenarnya proses menua tidak degan sendirinya menyebabkan terjadinya demensia. Penuaan menyebabkan terjadinya perubahan anatomi dan biokimiawi di susunan saraf pusat. (Kane Et Al, 1994; Folstein, 1990; Whalley, 1997; Mc Keith, 1997; Hecker, 1997)

Menurut data Asia Pasifik tahun 2006, jumlah orang yang menderita demensia di wilayah Asia Pasifik pada 2025 diperkirakan meningkat lebih dari dua kali lipat dan peningkatan ini akan lebih cepat dibandingkan dengan yang terjadi di negara-negara barat. Sementara di dunia, pada tahun 2040 jumlah penderita demensia diperkirakan menjadi sekitar 80 juta orang tiap tahunnya. (Demensia di kawasan asia pasifik, 2006).

Menurut Pratice Guideline For The Treatment Of Patients With Alzheimer’s Disease And Other Dementians Of Late Life dari The American Psychiatric Association (APA) awitan penyakit ini umumnya paling kerap terjadi pada usia 60-80-an keatas, namun pada kasus yang jarang gangguan ini muncul pada usia 40-an, dan 50-an (dimensia dini). (Benjamin J. & Virginia A. Sadock, 2004)

Diantara orang Amerika yang berusia 80 tahun, kira-kira 20% menderita demensia berat. dari semua pasien dengan demensia, 50-60% kasus pada penelitian klinis dan otopsi menderita demensia tipe Alzheimer, yang merupakan tipe demensia paling sering. Kira-kira 5% dari semua oarang yang mencapai usia 65 tahun menderita demensia tipe Alzheimer, diabadingkan dengan 15-25% dari semua orang yang berusia 85 atau lebih. Faktor resiko untuk perkembangan demensia tipe alzheimer adalah wanita, mempunyai sanak saudara tingkat pertama dengan gangguan tersebut dan mempunyai riwayat cedera kepala. Sindroma Down juga secara karakteristik berhubungan dengan perkembangan demensia alzheimer. (Benjamin J. & Virginia A. Sadock, 2004)

Tipe demensia tersering kedua adalah demensia vaskuler, yang secara kausatif berhubungan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi juga membuat seseorang memiliki predisposisi terhadap penyakit ini. Demensia vaskuler mencakup 15 sampai 30  persen seluruh kasus demensia. Demensia vaskuler paling sering terjadi pada pria di bandingkan wanita. Sekitar 10 sampai 15 persen pasien menderita demensia vaskuler dan demensia tipe alzhaimer sekaligus. (Benjamin J. & Virginia A. Sadock, 2004)
Menurut data menyebutkan bahwa di Asia demensia vaskuler ditemukan lebih tinggi kasusnya, dibandingkan demensia Alzheimer. Angka kematiannyapun juga lebih tinggi dibandingkan demensia yang lain. (Ras syahril, 2009)

Penyebab demensia lainnya yang sering, masing-masing mencerminkan 1-5% kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan alkohol, dan berbagai demensia yang berhubungan dengan gangguan pergerakan, sebagai contoh penyakit Huntington, dan penyakit parkinson. (Benjamin J. & Virginia A. Sadock, 2004)
Etiologi
Demensia memiliki banyak penyebab, namun demensia tipe Alzheimer dan demensia Vaskuler secara bersama-sama mencakup hingga 75% dari kasus. penyebab demnsia lain yang juga disebutkan dalam DSM-IV semuanya akan dijelaskan pada bagan dibawah ini: (Benjamin J. & Virginia A. Sadock, 2004)

Tabel 2.1 Gangguan Yang Dapat Menyebabkan Demensia
Penyakit Alzheimer (50-60% kasus)    Infeksi
•    Penyakit Creutzfeldt-jakob
•    AIDS (1% kasus)
•    Ensefalitis virus
•    Lekoensefalitis multifokal progresif
•    Sindroma Behcet
•    Neurosifilis
•    Meningitis bakterial kronis
•    Meningitis kriptokokus
•    Meningitis jamur
Demensia Vaskuler (10-20% kasus)
Varitas: Infark Multiple (Demensia multi-infark)
           Lakuna
           Penyakit Binswanger
           Microinfark kortikal    Gangguan nutrisional
•    Sindrom Wernicke-korsakoff (defisiensi tiamin) (1-5 % kasus)
•    Defisiensi vitamin B12
•    Defisiensi folat
•    Pelagra
•    Penyakit marchiafava-Bignami
•    Defisiensi seng
Obat dan toksik (termasuk demensia alkohol kronis) (1-5% kasus)    Gangguan metabolik
•    Lekodistrofi metakromatik
•    Lekodistrofi adrenal
•    Demensia dialisis
•    Hipotiroidisme dan hipertiroidisme
•    Insufisiensi ginjal, parah
•    Sindrom cushing
•    Insufisiensi hepatik
•    Penyakit paratiroid
Masa intrakranial: tumor, masa subdural, abses otak. (1-5% kasus)
Gangguan peradangan kronis (1% kasus)
•    Lupus dan gangguan vaskuler-kolagen lain (1 % kasus) dengan vaskulitis intraserebral
•    Sklerosis multipel
•    Penyakit whipple
Trauma
•    Cedera kepala (1-5% kasus)
•    Demensia pugilistika (punch-drung syndrome)    Anoksia
Hidrosefalus tekanan normal (1-5% kasus)
•    Gangguan neurodegeneratif
•    Penyakit parkinson (1% kasus)
•    Penyakit huntington (1% kasus)
•    Palsi supranuklear progresif (1% kasus)
•    Penyakit pick (1% kasus)
•    Sklerosis lateral amiotropik
•    Degenerasi spinoserebralis
•    Degenerasi olivopontoserebelaris
•    Oftalmoplegia plus
•    Lekodistrofi metakromatik (bentuk dewasa)
•    Penyakit hallervorden-spatz
•    Penyakit wilson   
(A.K. Asbury, G.M. McKhann, W.I. McDonald 2006)

Faktor resiko
Faktor-faktor resiko telah diteliti oleh beberapa ilmuwan dalam 4 tahun terakhir ini. Mereka membagi faktor-faktor resiko itu dalam 4 kategori : (Bambang Hartono, 2000)

1.    Faktor demografi, termasuk diantaranya adalah usia lanjut, ras dan etnis (Asia, Africa-Amerika), jenis kelamin (pria), pendidikan yang rendah, daerah rural.
2.    Faktor aterogenik, termasuk diantaranya adalah hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes, hiperlipidemia, menopause tanpa terapi penggantian estrogen, dan gambaran EKG yang abnomal.
3.    Faktor non-aterogenik, termasuk diantaranya adalah genetik, perubahan pada hemostatis, konsumsi alkohol yang tinggi, penggunaan aspirin, stres psikologik, paparan zat yang berhubungan dengan pekerjaan (pestisida, herbisida, plastik), trauma.
4.    Faktor yang berhubungan dengan stroke yang termasuk diantaranya adalah volume kehilangan jaringan otak, serta jumlah dan lokasi infark
Klasifikasi
Ada bermacam-macam jenis demensia, menurut Durland dan Barlow (2006) ada lima golongan demensia berdasarkan etiologinya yang telah didefinisikan yaitu: (1) demensia tipe Alzheimer, (2) demensia vaskular, (3) demensia larena kondisi medis umum, (4) demensia menetap yang diinduksi oleh substansi tertentu, dan (5) demensia karena etiologi ganda/multiple, (6) demensia yang tak tergolongkan.

Demensia dari segi anatomi dibedakan antara demensia kortikal dan demensia subkortikal (tabel). Perbedaan Demensia Kortikal Dan Subkortikal
    Ciri                                Demensia Kortikal                                          Demensia Subkortikal
Penampilan                             Siaga, sehat                                                      Abnormal, lemah
 Aktivitas                                    Normal                                                                Lamban
    Sikap                                  Lurus, tegak                                                    Bongkok, distonik
Cara Berjalan                             Normal                                              Ataksia, festinasi, seolah berdansa
   Gerakan                                  Normal                                                   Tremor, khorea, diskinesia
Output Verbal                            Normal                                       Disatria, hipofonik, volum suara lemah
  Berbahasa                Abnormal, parafasia, anomia                                                 Normal
   Kognisi       Abnormal (tidak mampu memanipulasi pengetahuan)   Tak terpelihara (dilapidated)
   Memori               Abnormal (gangguan belajar)                                  Pelupa (gangguan retrieval)
Kemampuan Visuo-Spasial   Abnormal (gangguan konstruksi)         Tidak cekatan (gangguan gerakan)
Keadaan Emosi    Abnormal (tak memperdulikan, tak menyadari)   Abnormal (kurang dorongan drive)
Contoh                 Penyakit Alzheimer, Pick      Penyakit Wilson, Huntington, Progressive      Supranuclear Palsy, Parkinson.
(Guberman A. Clinical Neurology. Little Brown and Coy, Boston, 1994, 69)

Dari etiologi dan perjalanan penyakit dibedakan antara demensia yang reversibel dan irreversibel (tabel). Beberapa penyebab demensia reversibel dapat dengan mudah diingat dengan “jembatan keledai” dibawah ini: (Kene et al, 1999)
D – drungs (obat-obatan)
E – emotional (gangguan emosi, misal depresi dll)
M – metabolik atau endokrin
E – eye and ear (disfungsi mata dan telinga)
N - nutrional
T – tumor dan trauma
I - infeksi
A – arteriosclerotic (komplikasi penyakit aterosklerosis, misalnya infark miokard, gagal jantung dll) dan alkohol.

Tabel 2.3 Penyebab Demensia Reversibel
Keadaan yang secara potensial reversibel atau bisa dihentikan:
•    Intoksikasi (obat, alkohol dll)
•    Infeksi susunan saraf pusat
•    Gangguan metabolik
•    Gangguan nutrisi
•    Gangguan vaskuler (demensia multi-infark, dll)
•    Lesi desak ruang
•    Hidrosefalus bertekanan normal
•    Depresi (pseudo-demensia depresif)
Penyakit degeneratif progresif:
•    Tanpa gejal neurologi penting lain:
-    Penyakit Alzheimer
-    Penyakit Pick
•    Dengan gangguan neurologik lain yang prominen:
-    Penyakit parkinson
-    Penyakit huntington
-    Kelumpuhan supranuklear progresif
-    Penyakit degeneratif lain yang jarang didapat
(Kane et al, 1999)

Tabel 2.4 Beberapa penyebab demensia yang dapat diobati/ reversibel
Obat-obatan: Anti-kolinergik (mis. Atropin dan sejenisnya); anti-konvulsan (mis. Phenytoin, Barbiturat); anti-hipertensi (Clonidine, Methyldopa, Propanolol); psikotropik (Haloperidol, Phenothiazine); dll (mis. Quinidine, Bromide, Disulfiram).
Metabolik-gangguan sistemik: Gangguan elektrolit atau asam-basa; hipo-hiperglikemia; anemia berat; polisitemia vera; hiperlipidemia; gagal hepar; uremia; insufisiensi pulmonal; hypopituitarism; disfungsi tiroid, adrenal, atau paratiroid; disfungsi kardiak; degenerasi hepatolenticular.
Gangguan intrakranial: Insufisiensi cerebrovascular; meningitis atau encephalitis chronic, neurosyphilis, epilepsy, tumor, abscess, hematoma subdural, multiple sclerosis, normal pressure hydrocephalus.
Keadaan defisiensi : Vitamin B12, defisiensi folat, pellagra (niacin).
Gangguan collagen-vascular: Systemic lupus erythematosus, temporal arteritis, sarcoidosis, syndrome Behcet.
Intoksikasi eksogen: Alcohol, carbon monoxide, organophosphates, toluene, trichloroethylene, carbon disulfide, timbal, mercury, arsenic, thallium, manganese, nitrobenzene, anilines, bromide, hydrocarbons.
(Gilroy J. Basic Neurology. Pergamon press, New York, 1992, 195)
Tabel 2.5 Penyebab Demensia Non-Reversibel
Penyakit degeneratif
•    Penyakit Alzheimer
•    Demensia yang berhubungan dengan badan Lewy
•    Penyakit Pick
•    Penyakit Huntington
•    Kelumpuhan supranukler progresif
•    Penyakit poarkinson, dll
Demensia vaskuler
•    Penyakit serebrovaskuler oklusif (Demensia Multi-infark)
•    Penyakit Binswanger
•    Embolisme serebral
•    Arteritis
•    Anoksia sekunder akibat henti jantung, gagal jantung akibat intoksikasi karbon monoksida
Demensia traumatik:
•    Perlukan Kranio-Serebral
•    Demensia Pugilistika
Infeksi:
•    Sindroma defisiensi imun dapatan (AIDS)
•    Infeksi oportunistik
•    Penyakit Creutzfeld-Jacob
•    Lekoensefalopati multifokal progresif
•    Demensia pasca ensefalopati
(Kane et al, 1999)

Menurut Dr. Witjaksana M. Roan, bPM (Lond.), SpKJ(K) pada “Simposium Sehari Kesehatan Jiwa Dalam Rangka Menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia” (2007), menjelaskan bahwa demensia dapat diklasifikasikan menurut:
•    Menurut Umur:
o    Demensia senilis (>65th)
o    Demensia prasenilis (<65th)
•    Menurut kerusakan struktur otak
o    Tipe Alzheimer
o    Tipe non-Alzheimer
o    Demensia vaskular
o    Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia)
o    Demensia Lobus frontal-temporal
o    Demensia terkait dengan SIDA (HIV-AIDS)
o    Morbus Parkinson
o    Morbus Huntington
o    Morbus Pick
o    Morbus Jakob-Creutzfeldt
o    Sindrom Gerstmann-Sträussler-Scheinker
o    Prion disease
o    Palsi Supranuklear progresif
o    Multiple sklerosis
o    Neurosifilis
o    Tipe campuran
•    Menurut sifat klinis:
o    Demensia proprius
o    Pseudo-demensia

G.    Gejala klinis
STADIUM DINI: terjadi perubahan samar-samar dalm kepribadian, keterampilan sosial terganggu, berkurangnya minat dan ambisi, efek yang labil dan dangkal, agitasi, sejumlah keluhan somatik, gejala psikiatrik yang samar, dan penurunan bertahap terhadap kemampuan intelektual dan ketajaman pikiran. Pada awalnya pasien dapat mengenali penurunan kemampuannya, tetapi kemudian menyangkalnya tegas-tegas. Demensia dini sering mencetuskan suatu gangguan emosi (depresi). (David A. Tomb, 2004)
STADIUM LANJUT
1.    Gangguan memori
Dalam bentuk ketidak mampuannya untuk belajar tentang hal-hal baru, atau lupa akan hal-hal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau dipelajari. Sebagian penderita demensia mengalami kedua jenis gangguan memori tadi. Penderita seringkali kehilangan dompet dan kunci, lupa bahwa sedang meninggalkan bahan masakan di kompor yang menyala, dan merasa asing terhadap tetangganya. Pada demensia tahap lanjut, gangguan memori menjadi sedemikian berat sehingga penderita lupa akan pekerjaan, sekolah, tanggal lahir, anggota keluarga, dan bahkan terhadap namanya sendiri.
2.    Gangguan orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu. Orientasi dapat terganggu secara progresif selama perjalanan penyakit demensia. Sebagai contohnya, pasien dengan demensia mungkin lupa bagaimana kembali ke ruangannya setelah pergi ke kamar mandi. Tetapi, tidak masalah bagaimana beratnya disorientasi, pasien tidak menunjukkan gangguan pada tingkat kesadaran.
3.    Afasia
Dapat dalam bentuk kesulitan menyebut nama orang atau benda. Penderita afasia berbicara secara samar-samar atau terkesan hampa, dengan ungkapan kata-kata yang panjang, dan menggunakan istilah-istilah yang tak menentu misalnya “anu”, “itu”, “apa itu”. Bahasa lisan dan tertulis dapat pula terganggu. Pada tahap lanjut, penderita dapat menjadi bisu atau mengalami gangguan pola bicara yang dicirikan oleh ekolalia (menirukan apa yang dia dengar) atau palilalia yang berarti mengulang suara atau kata terus-menerus.
4.    Apraksia
Adalah ketidakmampuan untuk melakukan gerakan meskipun kemampuan motorik, fungsi sensorik dan pengertian yang diperlukan tetap baik. Penderita dapat mengalami kesulitan dalam menggunakan benda tertentu (menyisir rambut) atau melakukan gerakan yang telah dikenali (melambaikan tangan). Apraksia dapat mengganggu keterampilan memasak, mengenakan pakaian, menggambar.
5.    Agnosia
Adalah ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda maupun fungsi sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tak dapat mengenali kursi, pena, meskipun visusnya baik. Akhirnya, penderita tak mengenal lagi anggota keluarganya dan bahkan dirinya sendiri yang tampak pada cermin. Demikian pula, walaupun sensasi taktilnya utuh, penderita tak mampu mengenali benda yang diletakkan di tangannya atau yang disentuhnya misalnya kunci atau uang logam.
6.    Gangguan fungsi eksekutif
Merupakan gejala yang sering dijumpai pada demensia. Gangguan ini mempunyai kaitan dengan gangguan di lobus frontalis atau jaras-jaras subkortikal yang berhubungan dengan lobus frontalis. Fungsi eksekutif melibatkan kemampuan berpikir abstrak, merencanakan, mengambil inisiatif, membuat urutan, memantau, dan menghentikan kegiatan yang kompleks. Gangguan dalam berpikir abstrak dapat muncul sebagai kesulitan dalam menguasai tugas/ide baru serta menghindari situasi yang memerlukan pengolahan informasi baru atau kompleks.
7.    Perubahan Kepribadian

Perubahan kepribadian pasien demensia merupakan gambaran yang paling mengganggu bagi keluarga pasien yang terkena. Sifat kepribadian sebelumnya mungkin diperkuat selama perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga mungkin menjadi introvert dan tampaknya kurang memperhatikan tentang efek perilaku mereka terhadap orang lain. Pasien demensia yang mempunyai waham paranoid biasanya bersikap bermusuhan terhadap anggota keluarga dan pengasuhnya. Pasien dengan gangguan frontal dan temporal kemungkinan mengalami perubahan kepribadian yang jelas dan mungkin mudah marah dan meledak-ledak.

Gangguan Lain
Psikiatri. Disamping psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan kecemasan adalah gejala utama pada kira-kira 40 sampai 50 persen pasien demensia, walaupun sindroma gangguan depresif yang sepenuhnya mungkin hanya ditemukan pada 10 sampai 20 persen pasien demensia. Pasien dengan demensia juga menunjukkan tertawa atau menangis yang patologis, yaitu emosi yang ekstrim tanpa provokasi yang terlihat.

Neurologis. Disamping afasia pada pasien demensia, apraksia dan agnosia adalah sering, dan keberadaannya dimasukkan sebagai kriteria diagnostik potensial dalam DSM-IV. Tanda neurologis lain yang dapat berhubungan dengan demensia adalah kejang, yang terlihat pada kira-kira 10 persen pasien dengan demensia tipe Alzheimer dan 20 persen pasien dengan demensia vaskular, dan presentasi neurologis yang atipikal, seperti sindroma lobus parietalis nondominan. Refleks primitif-seperti refleks menggenggam, moncong, mengisap, kaki-tonik, dan palmomental-mungkin ditemukan pada pemeriksaan neurologis, dan jerks mioklonik ditemukan pada lima sampai sepuluh persen pasien. Pasien dengan demensia vaskular mungkin mempunyai gejala neurologis tambahan-seperti nyeri kepala, pusing, pingsan, kelemahan, tanda neurologis fokal, dan gangguan tidur-mungkin menunjukkan lokasi penyakit serebrovaskular. Palsi serebrobulbar, disartria, dan disfagia juga lebih sering pada demensia vaskular dibandingkan demensia lain.

Reaksi katastropik. Pasien demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan untuk menerapkan apa yang disebut oleh Kurt Goldstein sebagai perilaku abstrak. Pasien mempunyai kesulitan dalam generalisasi dari suatu contoh tunggal, dalam membentuk konsep, dan dalam mengambil perbedaan dan persamaan diantara konsep-konsep. Selanjutnya, kemampuan untuk memecahkan masalah, untuk memberikan alasan secara logis, dan untuk membuat pertimbangan yang sehat adalah terganggu. Goldstein juga menggambarkan suatu reaksi katastropik, yang ditandai oleh agitasi sekunder karena kesadaran subjektif tentang defisit intelektualnya di bawah keadaan yang menegangkan. Pasien biasanya berusaha untuk mengkompensasi defek tersebut dengan menggunakan strategi untuk menghindari terlihatnya kegagalan dalam daya intelektual, seperti mengubah subjek, membuat lelucon, atau mengalihkan pewawancara dengan cara lain. Tidak adanya pertimbangan atau control impuls yang buruk sering ditemukan, khususnya pada demensia yang terutama mempengaruhi lobus frontalis. Contoh dari gangguan tersebut adalah bahasa yang kasar, humor yang tidak sesuai, pengabaian penampilan dan higiene pribadi, dan mengabaikan aturan konvensional tingkah laku sosial.

Sindroma Sundowner. Sindroma ini ditandai oleh mengantuk, konfusi, ataksia, dan terjatuh secara tidak disengaja. Keadaan ini terjadi pada pasien lanjut usia yang mengalami sedasi berat dan pada pasien demensia yang bereaksi secara menyimpang bahkan terhadap dosis kecil obat psikoaktif. Sindroma juga terjadi pada pasien demensia jika stimuli eksternal, seperti cahaya dan isyarat yang menyatakan interpersonal, adalah menghilang.

Pemeriksaan neurologis dasar tidak menemukan sesuatu yang abnormal. Hasil dari semua pemeriksaan laboratorium adalah normal, termasuk B12, folat, T4 dan serologi; tetapi pemeriksaan tomografi komputer menunjukkan atrofi kortikal yang nyata. (David A. Tomb, 2004)