Assalamu'alaikum...
Ada kabar gembira,,,, bagi sobat-sobat semua yang ingin memesan buku bahasa arab seperti kitab tasawuf, fiqih, hadits, tafsir, filsafat, qonun, kedokteran, geografi, sejarah dll, silahkan pesan sekarang, tinggal buka saja link ini: Toko Buku Online - Buku Bahasa Arab Terlengkap..!!!

Kamis, 12 Januari 2012

BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Demensia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat, dimana akibatnya tidak hanya menjadikan beban pada penderitanya saja tetapi juga keluarganya, teman-temannya dan lingkungannya. Demensia merupakan suatu sindroma klinis yang terdiri dari gejala-gejala gangguan atau kerusakan fungsi kognitif global yang tidak disertai gangguan derajat kesadaran, namun bergandengan dengan perubahan tabiat yang dapat berkembang secara mendadak atau sedikit demi sedikit pada tiap orang dari semua golongan usia. Komponen fungsi kognitif yang dapat dipengaruhi pada demensia adalah intelegensia umum (kecerdasan umum), belajar dan ingatan, bahasa, memecahkan masalah, orientasi, persepsi, perhatian, konsentrasi, pertimbangan dan kemampuan sosial beserta emosi. Oleh karena itu sangat penting untuk membedakan fase awal demensia dengan perubahan kognitif yang normal. (Mardjono, Sidharta. 2010; Cumming, Trimbley. 1995; Foley, 1987)

Dari aspek medis, demensia merupakan masalah yang tak kalah rumitnya dengan masalah yang terdapat pada penyakit kronis lainnya (stroke, diabetes mellitus, hipertensi, keganasan). Ilmu kedokteran dan kesehatan mengemban misi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Seseorang yang mengalami demensia pasti akan mengalami penurunan kualitas hidup. Keberadaannya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat menjadi beban bagi lingkungannya, tidak dapat mandiri lagi.

Menurut data Asia Pasifik tahun 2006, jumlah orang yang menderita demensia di wilayah Asia Pasifik pada tahun 2025 diperkirakan meningkat lebih dari dua kali lipat dan peningkatan ini akan lebih cepat dibandingkan dengan yang terjadi di negara-negara barat. Sementara di dunia, pada tahun 2040 jumlah penderita demensia diperkirakan menjadi sekitar 80 juta orang. (Demensia di kawasan asia pasifik, 2006)

Menurut Pratice Guideline For The Treatment Of Patients With Alzheimer’s Disease And Other Demntians Of Late Life Dari The American Psychiatric Association (APA) awitan penyakit ini umumnya paling kerap terjadi pada usia 60-an, 70-an dan 80-an keatas, namun pada kasus yang jarang gangguan ini muncul pada usia 40-an, dan 50-an (dimensia dini), Insidens penyakit Alzhaimer juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Dan diperkirakan angkanya 0,5 persen pertahun dari usia 80 sampai 84, dan 8 persen pertahun dari usia 85 tahun keatas. Progresinya bertahap namun terus menurun. Taksiran kematian sejak awitan gejala sebelumnya diperkirakan antara 5 sampai 9 tahun, namun pada penelitian terhadap alzhaimer tahun 2001, angka harapan hidup hanya 3 tahun setelah awitan gejala. (Benjamin J. & Virginia A. Sadock, 2004)

Tipe demensia tersering kedua adalah demensia vaskuler, yang secara kausatif berhubungan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi juga membuat seseorang memiliki predisposisi terhadap penyakit ini. Demensia vaskuler mencakup 15 sampai 30  persen seluruh kasus demensia. Demensia vaskuler paling sering terjadi pada pria di bandingkan wanita. Sekitar 10 sampai 15 persen pasien menderita demensia vaskuler dan demensia tipe alzhaimer sekaligus. (Benjamin J. & Virginia A. Sadock, 2004)

Referat ini akan membahas sejauh mungkin beberapa etiologi, faktor predisposisi, diagnosis dan penatalaksanaan dini yang berkaitan dengan terjadinya demensia.

Definisi
Demensia berasal dari bahasa latin yang terdiri dari kata dement yang artinya gila dan kata ia yang artinya keadaan patologis. (Yoesoef, 1998)
Ada beberapa pendapat yang memberikan definisi tentang demensia yang memberikan definisi tentang demensia, antara lain:
1.    Demensia adalah sindrom yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dapat diperbaharui pada demensia adalah intelegensi umum, belajar dan ingatan, bahasa memecahkan masalah, orientasi, persepsi, perhatian dan konsentrasi, pertimbangan dan kemampuan sosial. (Kaplan & Sadok, 2004)

2.    Demensia adalah suatu sindrom klinik yang khas dengan rusaknya paling sedikit tiga komponen kognitif: bahasa, daya ingat, keterampilan visual ruang, kemampuan eksekutif dan emosi. Kerusakan tersebut di dapat dan persisiten. Penyebab demensia sangat luas, ada yang irevesibel, perjalanannya progresif ada yang konsisten, ada yang remisi pada sebagian fungsi kognitif. Derajatnya sedang, ringan, berat, dan mengganggu interaksi sosial (Cumming, 1995)

3.    Demensia adalah suatu sindrom klinik, khas dengan kerusakan lebih dulu dari fungsi kortikal luhur termasuk gangguan daya ingat dan gangguan fungsi kognitif lainnya seperti berbahasa, orientasi, kemampuan kontruksi, berpikir abstrak, pemecahan masalah. Penampilan sosial dan lingkungan terganggu, perubahan kepribadian dan effek hampir selalu ada, tetapi kesadaran tetap utuh kecuali pada fase akhir. DSM-IV (1994) (American Psychiatric Association, 1994)

4.    Demensia adalah kumpulan gejala klinik yang disebabkan oleh berbagai latar belakang penyakit dan ditandai oleh hilangnya daya ingat jangka pendek (Recent Memory) dan gangguan global fungsi mental termasuk fungsi bahasa, mundurnya berpikir abstrak, kesulitan melawan diri, perubahan perilaku, emosi labil dan hilangnya pengenalan waktu dan tempat. (Perdosis, lampilan 1)

5.    Demensia adalah sindroma klinik khas dengan penurunan intelektual dan kemampuan sosial (aktifitas kehidupan sehari-hari). Gangguan intelektual mengenai lebih dari satu fungsi kognitif lainnya seperti atensi, bahasa keterampiral, visual ruang, persepsi, pemecahan masalah. Awitan penyakit biasanya progresif tetapi ada beberapa yang dapat dihentikan bila etiologi yang dapat disembuhkan ditemukan. Tidak jarang terjadi affek, motivasi dan gangguan kepribadian. (Peterson, 1999).

6.    Menurut WHO dalam Clinical Deskriptions and Diagnostic Guidelines for Mental and Behavioural Disorders dan International Classification of Diseases (10th Revision) (ICD-10) (2008) demensia memiliki ciri-ciri yang harus ada diantaranya:
a.    Kemunduran kemampuan intelektual terutama memori yang sampai menganggu aktivitas-aktivitas keseharian sehingga menjadikan penderita sulit bahkan tidak mungkin untuk hidup secara mandiri.
b.    Mengalami kemunduran dalam berfikir, merencanakan dan mengorganisasikan hal-hal dari hari ke hari.
c.    Awalnya, mengalami kesulitan menyebutkan nama-nama benda, orientasi waktu, tempat.
d.    Kemunduran pengontrolan emosi, motivasi, perubahan dalam perilaku sosial yang tampak dalam kelabilan emosi, ketidak mampuan melakukan ritual keseharian, apatis (tidak peduli) terhadap perilaku sosial seperti makan, berpakaian dan interaksi dengan orang lain.

Dari beberapa definisi  tersebut dapat diambil kesimpulan yang sama dan pokok, yaitu: (Pernojo Dahlan, 1999)
1.    Gangguan kognitif lebih dari satu
2.    Gangguan daya ingat selalu ada
3.    Progresif dan persisiten, tetapi ada yang refesibel
4.    Gangguan affek, perilaku dan kepribadian hampir selalu ada
5.    Gangguan sosial
6.    Etiologi luas dan mengenai otak
Sejarah
Pada zaman Romawi dari kata Latin sebenarnya, kata demens tidak memiliki arti konotasi yang spesifik. Yang pertama kali menggunakan kata demensia adalah seorang enclyopedist yang bernama Celcus di dalam publikasinya De re medicine sekitar 30 yang mengartikan demens sebagai istilah gila. Seabad kemudian seorang tabib dari Cappodocian yang bernama Areteus menggunakan istilah senile dementia pada seorang pasien tua yang berkelakuan seperti anak kecil. Kemudian pada awal abad ke 19 seorang psikiater Prancis yang bernama Pinel menghubungkan terminologi demensia dengan perubahan mental yang progresif pada pasien yang mirip idiot (Sjahrir,1999)

Sampai abad ke 19 istilah demensia dianggap sebagai masa terminal dari penyakit kejiwaan yang membawa kematian. Baru pada awal abad ke 20, yaitu tahun 1907 Alzheimer mempublikasikan suatu kasus yang berjudul “A Unique Illnes involving cerebral cortex” pada pasien wanita umur 55 tahun. Kemudian kasus itu ditabalkan sebagai penyakit Alzheimer. Pasien ini masih relatif muda dan secara progresif bertahap mengalami gejala seperti psikosis dan demensia kemudian meninggal 4-5 tahun setelah onset serangan pertama. Pada otopsi ditemukan 1/3 dari bagian neuron kortek menghilang dari neuron yang tinggal menggembung berisi gumpalan fiber dalam sitoplasmanya. Alzheimer menduga adanya perubahan kimiawi di dalam neurofibril. Alzheimer lah yang pertama kali menemukan dan menamakan neurofibrillary tangles (NT) dimana NT bersamaan dengan senile plaque (SP) dianggap sebagai penanda diagnostik Alzheimer Disease. (Sjahrir,1999)
Epidemiologi
Dari banyak data yang tersedia hasil studi prevelensi demensia, menunjukkan kenaikan prevelensi yang mencolok seiring dengan meningkatnya umur. (Benjamin J. & Virginia A. Sadock, 2009)
Sebenarnya proses menua tidak degan sendirinya menyebabkan terjadinya demensia. Penuaan menyebabkan terjadinya perubahan anatomi dan biokimiawi di susunan saraf pusat. (Kane Et Al, 1994; Folstein, 1990; Whalley, 1997; Mc Keith, 1997; Hecker, 1997)

Menurut data Asia Pasifik tahun 2006, jumlah orang yang menderita demensia di wilayah Asia Pasifik pada 2025 diperkirakan meningkat lebih dari dua kali lipat dan peningkatan ini akan lebih cepat dibandingkan dengan yang terjadi di negara-negara barat. Sementara di dunia, pada tahun 2040 jumlah penderita demensia diperkirakan menjadi sekitar 80 juta orang tiap tahunnya. (Demensia di kawasan asia pasifik, 2006).

Menurut Pratice Guideline For The Treatment Of Patients With Alzheimer’s Disease And Other Dementians Of Late Life dari The American Psychiatric Association (APA) awitan penyakit ini umumnya paling kerap terjadi pada usia 60-80-an keatas, namun pada kasus yang jarang gangguan ini muncul pada usia 40-an, dan 50-an (dimensia dini). (Benjamin J. & Virginia A. Sadock, 2004)

Diantara orang Amerika yang berusia 80 tahun, kira-kira 20% menderita demensia berat. dari semua pasien dengan demensia, 50-60% kasus pada penelitian klinis dan otopsi menderita demensia tipe Alzheimer, yang merupakan tipe demensia paling sering. Kira-kira 5% dari semua oarang yang mencapai usia 65 tahun menderita demensia tipe Alzheimer, diabadingkan dengan 15-25% dari semua orang yang berusia 85 atau lebih. Faktor resiko untuk perkembangan demensia tipe alzheimer adalah wanita, mempunyai sanak saudara tingkat pertama dengan gangguan tersebut dan mempunyai riwayat cedera kepala. Sindroma Down juga secara karakteristik berhubungan dengan perkembangan demensia alzheimer. (Benjamin J. & Virginia A. Sadock, 2004)

Tipe demensia tersering kedua adalah demensia vaskuler, yang secara kausatif berhubungan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi juga membuat seseorang memiliki predisposisi terhadap penyakit ini. Demensia vaskuler mencakup 15 sampai 30  persen seluruh kasus demensia. Demensia vaskuler paling sering terjadi pada pria di bandingkan wanita. Sekitar 10 sampai 15 persen pasien menderita demensia vaskuler dan demensia tipe alzhaimer sekaligus. (Benjamin J. & Virginia A. Sadock, 2004)
Menurut data menyebutkan bahwa di Asia demensia vaskuler ditemukan lebih tinggi kasusnya, dibandingkan demensia Alzheimer. Angka kematiannyapun juga lebih tinggi dibandingkan demensia yang lain. (Ras syahril, 2009)

Penyebab demensia lainnya yang sering, masing-masing mencerminkan 1-5% kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan alkohol, dan berbagai demensia yang berhubungan dengan gangguan pergerakan, sebagai contoh penyakit Huntington, dan penyakit parkinson. (Benjamin J. & Virginia A. Sadock, 2004)
Etiologi
Demensia memiliki banyak penyebab, namun demensia tipe Alzheimer dan demensia Vaskuler secara bersama-sama mencakup hingga 75% dari kasus. penyebab demnsia lain yang juga disebutkan dalam DSM-IV semuanya akan dijelaskan pada bagan dibawah ini: (Benjamin J. & Virginia A. Sadock, 2004)

Tabel 2.1 Gangguan Yang Dapat Menyebabkan Demensia
Penyakit Alzheimer (50-60% kasus)    Infeksi
•    Penyakit Creutzfeldt-jakob
•    AIDS (1% kasus)
•    Ensefalitis virus
•    Lekoensefalitis multifokal progresif
•    Sindroma Behcet
•    Neurosifilis
•    Meningitis bakterial kronis
•    Meningitis kriptokokus
•    Meningitis jamur
Demensia Vaskuler (10-20% kasus)
Varitas: Infark Multiple (Demensia multi-infark)
           Lakuna
           Penyakit Binswanger
           Microinfark kortikal    Gangguan nutrisional
•    Sindrom Wernicke-korsakoff (defisiensi tiamin) (1-5 % kasus)
•    Defisiensi vitamin B12
•    Defisiensi folat
•    Pelagra
•    Penyakit marchiafava-Bignami
•    Defisiensi seng
Obat dan toksik (termasuk demensia alkohol kronis) (1-5% kasus)    Gangguan metabolik
•    Lekodistrofi metakromatik
•    Lekodistrofi adrenal
•    Demensia dialisis
•    Hipotiroidisme dan hipertiroidisme
•    Insufisiensi ginjal, parah
•    Sindrom cushing
•    Insufisiensi hepatik
•    Penyakit paratiroid
Masa intrakranial: tumor, masa subdural, abses otak. (1-5% kasus)
Gangguan peradangan kronis (1% kasus)
•    Lupus dan gangguan vaskuler-kolagen lain (1 % kasus) dengan vaskulitis intraserebral
•    Sklerosis multipel
•    Penyakit whipple
Trauma
•    Cedera kepala (1-5% kasus)
•    Demensia pugilistika (punch-drung syndrome)    Anoksia
Hidrosefalus tekanan normal (1-5% kasus)
•    Gangguan neurodegeneratif
•    Penyakit parkinson (1% kasus)
•    Penyakit huntington (1% kasus)
•    Palsi supranuklear progresif (1% kasus)
•    Penyakit pick (1% kasus)
•    Sklerosis lateral amiotropik
•    Degenerasi spinoserebralis
•    Degenerasi olivopontoserebelaris
•    Oftalmoplegia plus
•    Lekodistrofi metakromatik (bentuk dewasa)
•    Penyakit hallervorden-spatz
•    Penyakit wilson   
(A.K. Asbury, G.M. McKhann, W.I. McDonald 2006)

Faktor resiko
Faktor-faktor resiko telah diteliti oleh beberapa ilmuwan dalam 4 tahun terakhir ini. Mereka membagi faktor-faktor resiko itu dalam 4 kategori : (Bambang Hartono, 2000)

1.    Faktor demografi, termasuk diantaranya adalah usia lanjut, ras dan etnis (Asia, Africa-Amerika), jenis kelamin (pria), pendidikan yang rendah, daerah rural.
2.    Faktor aterogenik, termasuk diantaranya adalah hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes, hiperlipidemia, menopause tanpa terapi penggantian estrogen, dan gambaran EKG yang abnomal.
3.    Faktor non-aterogenik, termasuk diantaranya adalah genetik, perubahan pada hemostatis, konsumsi alkohol yang tinggi, penggunaan aspirin, stres psikologik, paparan zat yang berhubungan dengan pekerjaan (pestisida, herbisida, plastik), trauma.
4.    Faktor yang berhubungan dengan stroke yang termasuk diantaranya adalah volume kehilangan jaringan otak, serta jumlah dan lokasi infark
Klasifikasi
Ada bermacam-macam jenis demensia, menurut Durland dan Barlow (2006) ada lima golongan demensia berdasarkan etiologinya yang telah didefinisikan yaitu: (1) demensia tipe Alzheimer, (2) demensia vaskular, (3) demensia larena kondisi medis umum, (4) demensia menetap yang diinduksi oleh substansi tertentu, dan (5) demensia karena etiologi ganda/multiple, (6) demensia yang tak tergolongkan.

Demensia dari segi anatomi dibedakan antara demensia kortikal dan demensia subkortikal (tabel). Perbedaan Demensia Kortikal Dan Subkortikal
    Ciri                                Demensia Kortikal                                          Demensia Subkortikal
Penampilan                             Siaga, sehat                                                      Abnormal, lemah
 Aktivitas                                    Normal                                                                Lamban
    Sikap                                  Lurus, tegak                                                    Bongkok, distonik
Cara Berjalan                             Normal                                              Ataksia, festinasi, seolah berdansa
   Gerakan                                  Normal                                                   Tremor, khorea, diskinesia
Output Verbal                            Normal                                       Disatria, hipofonik, volum suara lemah
  Berbahasa                Abnormal, parafasia, anomia                                                 Normal
   Kognisi       Abnormal (tidak mampu memanipulasi pengetahuan)   Tak terpelihara (dilapidated)
   Memori               Abnormal (gangguan belajar)                                  Pelupa (gangguan retrieval)
Kemampuan Visuo-Spasial   Abnormal (gangguan konstruksi)         Tidak cekatan (gangguan gerakan)
Keadaan Emosi    Abnormal (tak memperdulikan, tak menyadari)   Abnormal (kurang dorongan drive)
Contoh                 Penyakit Alzheimer, Pick      Penyakit Wilson, Huntington, Progressive      Supranuclear Palsy, Parkinson.
(Guberman A. Clinical Neurology. Little Brown and Coy, Boston, 1994, 69)

Dari etiologi dan perjalanan penyakit dibedakan antara demensia yang reversibel dan irreversibel (tabel). Beberapa penyebab demensia reversibel dapat dengan mudah diingat dengan “jembatan keledai” dibawah ini: (Kene et al, 1999)
D – drungs (obat-obatan)
E – emotional (gangguan emosi, misal depresi dll)
M – metabolik atau endokrin
E – eye and ear (disfungsi mata dan telinga)
N - nutrional
T – tumor dan trauma
I - infeksi
A – arteriosclerotic (komplikasi penyakit aterosklerosis, misalnya infark miokard, gagal jantung dll) dan alkohol.

Tabel 2.3 Penyebab Demensia Reversibel
Keadaan yang secara potensial reversibel atau bisa dihentikan:
•    Intoksikasi (obat, alkohol dll)
•    Infeksi susunan saraf pusat
•    Gangguan metabolik
•    Gangguan nutrisi
•    Gangguan vaskuler (demensia multi-infark, dll)
•    Lesi desak ruang
•    Hidrosefalus bertekanan normal
•    Depresi (pseudo-demensia depresif)
Penyakit degeneratif progresif:
•    Tanpa gejal neurologi penting lain:
-    Penyakit Alzheimer
-    Penyakit Pick
•    Dengan gangguan neurologik lain yang prominen:
-    Penyakit parkinson
-    Penyakit huntington
-    Kelumpuhan supranuklear progresif
-    Penyakit degeneratif lain yang jarang didapat
(Kane et al, 1999)

Tabel 2.4 Beberapa penyebab demensia yang dapat diobati/ reversibel
Obat-obatan: Anti-kolinergik (mis. Atropin dan sejenisnya); anti-konvulsan (mis. Phenytoin, Barbiturat); anti-hipertensi (Clonidine, Methyldopa, Propanolol); psikotropik (Haloperidol, Phenothiazine); dll (mis. Quinidine, Bromide, Disulfiram).
Metabolik-gangguan sistemik: Gangguan elektrolit atau asam-basa; hipo-hiperglikemia; anemia berat; polisitemia vera; hiperlipidemia; gagal hepar; uremia; insufisiensi pulmonal; hypopituitarism; disfungsi tiroid, adrenal, atau paratiroid; disfungsi kardiak; degenerasi hepatolenticular.
Gangguan intrakranial: Insufisiensi cerebrovascular; meningitis atau encephalitis chronic, neurosyphilis, epilepsy, tumor, abscess, hematoma subdural, multiple sclerosis, normal pressure hydrocephalus.
Keadaan defisiensi : Vitamin B12, defisiensi folat, pellagra (niacin).
Gangguan collagen-vascular: Systemic lupus erythematosus, temporal arteritis, sarcoidosis, syndrome Behcet.
Intoksikasi eksogen: Alcohol, carbon monoxide, organophosphates, toluene, trichloroethylene, carbon disulfide, timbal, mercury, arsenic, thallium, manganese, nitrobenzene, anilines, bromide, hydrocarbons.
(Gilroy J. Basic Neurology. Pergamon press, New York, 1992, 195)
Tabel 2.5 Penyebab Demensia Non-Reversibel
Penyakit degeneratif
•    Penyakit Alzheimer
•    Demensia yang berhubungan dengan badan Lewy
•    Penyakit Pick
•    Penyakit Huntington
•    Kelumpuhan supranukler progresif
•    Penyakit poarkinson, dll
Demensia vaskuler
•    Penyakit serebrovaskuler oklusif (Demensia Multi-infark)
•    Penyakit Binswanger
•    Embolisme serebral
•    Arteritis
•    Anoksia sekunder akibat henti jantung, gagal jantung akibat intoksikasi karbon monoksida
Demensia traumatik:
•    Perlukan Kranio-Serebral
•    Demensia Pugilistika
Infeksi:
•    Sindroma defisiensi imun dapatan (AIDS)
•    Infeksi oportunistik
•    Penyakit Creutzfeld-Jacob
•    Lekoensefalopati multifokal progresif
•    Demensia pasca ensefalopati
(Kane et al, 1999)

Menurut Dr. Witjaksana M. Roan, bPM (Lond.), SpKJ(K) pada “Simposium Sehari Kesehatan Jiwa Dalam Rangka Menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia” (2007), menjelaskan bahwa demensia dapat diklasifikasikan menurut:
•    Menurut Umur:
o    Demensia senilis (>65th)
o    Demensia prasenilis (<65th)
•    Menurut kerusakan struktur otak
o    Tipe Alzheimer
o    Tipe non-Alzheimer
o    Demensia vaskular
o    Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia)
o    Demensia Lobus frontal-temporal
o    Demensia terkait dengan SIDA (HIV-AIDS)
o    Morbus Parkinson
o    Morbus Huntington
o    Morbus Pick
o    Morbus Jakob-Creutzfeldt
o    Sindrom Gerstmann-Sträussler-Scheinker
o    Prion disease
o    Palsi Supranuklear progresif
o    Multiple sklerosis
o    Neurosifilis
o    Tipe campuran
•    Menurut sifat klinis:
o    Demensia proprius
o    Pseudo-demensia

G.    Gejala klinis
STADIUM DINI: terjadi perubahan samar-samar dalm kepribadian, keterampilan sosial terganggu, berkurangnya minat dan ambisi, efek yang labil dan dangkal, agitasi, sejumlah keluhan somatik, gejala psikiatrik yang samar, dan penurunan bertahap terhadap kemampuan intelektual dan ketajaman pikiran. Pada awalnya pasien dapat mengenali penurunan kemampuannya, tetapi kemudian menyangkalnya tegas-tegas. Demensia dini sering mencetuskan suatu gangguan emosi (depresi). (David A. Tomb, 2004)
STADIUM LANJUT
1.    Gangguan memori
Dalam bentuk ketidak mampuannya untuk belajar tentang hal-hal baru, atau lupa akan hal-hal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau dipelajari. Sebagian penderita demensia mengalami kedua jenis gangguan memori tadi. Penderita seringkali kehilangan dompet dan kunci, lupa bahwa sedang meninggalkan bahan masakan di kompor yang menyala, dan merasa asing terhadap tetangganya. Pada demensia tahap lanjut, gangguan memori menjadi sedemikian berat sehingga penderita lupa akan pekerjaan, sekolah, tanggal lahir, anggota keluarga, dan bahkan terhadap namanya sendiri.
2.    Gangguan orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu. Orientasi dapat terganggu secara progresif selama perjalanan penyakit demensia. Sebagai contohnya, pasien dengan demensia mungkin lupa bagaimana kembali ke ruangannya setelah pergi ke kamar mandi. Tetapi, tidak masalah bagaimana beratnya disorientasi, pasien tidak menunjukkan gangguan pada tingkat kesadaran.
3.    Afasia
Dapat dalam bentuk kesulitan menyebut nama orang atau benda. Penderita afasia berbicara secara samar-samar atau terkesan hampa, dengan ungkapan kata-kata yang panjang, dan menggunakan istilah-istilah yang tak menentu misalnya “anu”, “itu”, “apa itu”. Bahasa lisan dan tertulis dapat pula terganggu. Pada tahap lanjut, penderita dapat menjadi bisu atau mengalami gangguan pola bicara yang dicirikan oleh ekolalia (menirukan apa yang dia dengar) atau palilalia yang berarti mengulang suara atau kata terus-menerus.
4.    Apraksia
Adalah ketidakmampuan untuk melakukan gerakan meskipun kemampuan motorik, fungsi sensorik dan pengertian yang diperlukan tetap baik. Penderita dapat mengalami kesulitan dalam menggunakan benda tertentu (menyisir rambut) atau melakukan gerakan yang telah dikenali (melambaikan tangan). Apraksia dapat mengganggu keterampilan memasak, mengenakan pakaian, menggambar.
5.    Agnosia
Adalah ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda maupun fungsi sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tak dapat mengenali kursi, pena, meskipun visusnya baik. Akhirnya, penderita tak mengenal lagi anggota keluarganya dan bahkan dirinya sendiri yang tampak pada cermin. Demikian pula, walaupun sensasi taktilnya utuh, penderita tak mampu mengenali benda yang diletakkan di tangannya atau yang disentuhnya misalnya kunci atau uang logam.
6.    Gangguan fungsi eksekutif
Merupakan gejala yang sering dijumpai pada demensia. Gangguan ini mempunyai kaitan dengan gangguan di lobus frontalis atau jaras-jaras subkortikal yang berhubungan dengan lobus frontalis. Fungsi eksekutif melibatkan kemampuan berpikir abstrak, merencanakan, mengambil inisiatif, membuat urutan, memantau, dan menghentikan kegiatan yang kompleks. Gangguan dalam berpikir abstrak dapat muncul sebagai kesulitan dalam menguasai tugas/ide baru serta menghindari situasi yang memerlukan pengolahan informasi baru atau kompleks.
7.    Perubahan Kepribadian

Perubahan kepribadian pasien demensia merupakan gambaran yang paling mengganggu bagi keluarga pasien yang terkena. Sifat kepribadian sebelumnya mungkin diperkuat selama perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga mungkin menjadi introvert dan tampaknya kurang memperhatikan tentang efek perilaku mereka terhadap orang lain. Pasien demensia yang mempunyai waham paranoid biasanya bersikap bermusuhan terhadap anggota keluarga dan pengasuhnya. Pasien dengan gangguan frontal dan temporal kemungkinan mengalami perubahan kepribadian yang jelas dan mungkin mudah marah dan meledak-ledak.

Gangguan Lain
Psikiatri. Disamping psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan kecemasan adalah gejala utama pada kira-kira 40 sampai 50 persen pasien demensia, walaupun sindroma gangguan depresif yang sepenuhnya mungkin hanya ditemukan pada 10 sampai 20 persen pasien demensia. Pasien dengan demensia juga menunjukkan tertawa atau menangis yang patologis, yaitu emosi yang ekstrim tanpa provokasi yang terlihat.

Neurologis. Disamping afasia pada pasien demensia, apraksia dan agnosia adalah sering, dan keberadaannya dimasukkan sebagai kriteria diagnostik potensial dalam DSM-IV. Tanda neurologis lain yang dapat berhubungan dengan demensia adalah kejang, yang terlihat pada kira-kira 10 persen pasien dengan demensia tipe Alzheimer dan 20 persen pasien dengan demensia vaskular, dan presentasi neurologis yang atipikal, seperti sindroma lobus parietalis nondominan. Refleks primitif-seperti refleks menggenggam, moncong, mengisap, kaki-tonik, dan palmomental-mungkin ditemukan pada pemeriksaan neurologis, dan jerks mioklonik ditemukan pada lima sampai sepuluh persen pasien. Pasien dengan demensia vaskular mungkin mempunyai gejala neurologis tambahan-seperti nyeri kepala, pusing, pingsan, kelemahan, tanda neurologis fokal, dan gangguan tidur-mungkin menunjukkan lokasi penyakit serebrovaskular. Palsi serebrobulbar, disartria, dan disfagia juga lebih sering pada demensia vaskular dibandingkan demensia lain.

Reaksi katastropik. Pasien demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan untuk menerapkan apa yang disebut oleh Kurt Goldstein sebagai perilaku abstrak. Pasien mempunyai kesulitan dalam generalisasi dari suatu contoh tunggal, dalam membentuk konsep, dan dalam mengambil perbedaan dan persamaan diantara konsep-konsep. Selanjutnya, kemampuan untuk memecahkan masalah, untuk memberikan alasan secara logis, dan untuk membuat pertimbangan yang sehat adalah terganggu. Goldstein juga menggambarkan suatu reaksi katastropik, yang ditandai oleh agitasi sekunder karena kesadaran subjektif tentang defisit intelektualnya di bawah keadaan yang menegangkan. Pasien biasanya berusaha untuk mengkompensasi defek tersebut dengan menggunakan strategi untuk menghindari terlihatnya kegagalan dalam daya intelektual, seperti mengubah subjek, membuat lelucon, atau mengalihkan pewawancara dengan cara lain. Tidak adanya pertimbangan atau control impuls yang buruk sering ditemukan, khususnya pada demensia yang terutama mempengaruhi lobus frontalis. Contoh dari gangguan tersebut adalah bahasa yang kasar, humor yang tidak sesuai, pengabaian penampilan dan higiene pribadi, dan mengabaikan aturan konvensional tingkah laku sosial.

Sindroma Sundowner. Sindroma ini ditandai oleh mengantuk, konfusi, ataksia, dan terjatuh secara tidak disengaja. Keadaan ini terjadi pada pasien lanjut usia yang mengalami sedasi berat dan pada pasien demensia yang bereaksi secara menyimpang bahkan terhadap dosis kecil obat psikoaktif. Sindroma juga terjadi pada pasien demensia jika stimuli eksternal, seperti cahaya dan isyarat yang menyatakan interpersonal, adalah menghilang.

Pemeriksaan neurologis dasar tidak menemukan sesuatu yang abnormal. Hasil dari semua pemeriksaan laboratorium adalah normal, termasuk B12, folat, T4 dan serologi; tetapi pemeriksaan tomografi komputer menunjukkan atrofi kortikal yang nyata. (David A. Tomb, 2004)